Jakarta (ANTARA News) - Sudah setengah tahun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan beroperasi dan akan disusul dengan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.

Dalam waktu enam bulan penyelenggaraannya, BPJS Kesehatan masih perlu banyak perbaikan, mulai dari pendaftaran calon peserta, hingga layanan kepada peserta dan pasien.

Sejak beroperasi, kantor-kantor BPJS Kesehatan setiap hari selalu dipadati oleh calon peserta yang ingin mendaftar. Kepadatan antrean terlihat setiap hari, bahkan hingga ke luar kantor BPJS Kesehatan.

Seperti yang terlihat di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat yang berada di kawasan, Palmerah, Jakarta Barat. Pun di bulan puasa, minat calon peserta untuk mendaftar seolah tak surut.

Karena adanya batasan nomor antrean dan waktu operasional, tak jarang calon peserta yang ingin mendaftar harus pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Akibatnya, ada calon peserta yang akhirnya baru berhasil mendaftar setelah tiga kali datang ke kantor BPJS Kesehatan.

Seperti Saut Gemaya (30), misalnya. Pada Jumat (4/7), dia sudah tiga kali datang ke Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat.

"Sebelumnya saya memang datang kesiangan sehingga tidak dapat nomor antrean. Ada juga yang saya hanya mengambil formulir saja," tuturnya.

Pegawai sebuah bank BUMN itu berharap sistem antrean pendaftaran bisa seperti antrean di perbankan.

"Begitu datang langsung pencet tombol dan keluar nomor antrean. Kalau begitu kan lebih mudah daripada seperti saat ini," katanya.

Warga Kalideres, Jakarta Barat itu mengatakan dia datang ke kantor cabang BPJS Kesehatan sekitar pukul 08.00 WIB lebih dan mendapat nomor satu di daftar hadir gelombang kedua dan akhirnya sekitar pukul 11.00 mendapatkan nomor antrean 182.

Selain itu, Saut juga menyarankan agar Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat menyediakan tenda supaya pendaftar yang di luar menunggu giliran dipanggil tidak terlalu kepanasan.

Untuk menertibkan pendaftar, Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat menerapkan sistem daftar hadir bagi calon pendaftar. Di depan kantor tersedia meja dengan beberapa lembar kertas untuk menuliskan daftar hadir.

Pendaftar yang sudah membayar ke bank, begitu hadir di kantor BPJS Kesehatan, harus mengisi daftar hadir itu. Begitu pukul 08.00, atau mulai waktu operasional kantor, ada petugas yang akan membagikan nomor antrean sesuai urutan dalam daftar hadir tersebut.

Ketika daftar hadir itu dipegang petugas untuk memberikan nomor antrean, disediakan daftar hadir gelombang kedua. Pendaftar yang terdaftar dalam daftar hadir gelombang kedua baru mendapatkan nomor antrean setelah pukul 11.00.

Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat membatasi pendaftar hingga 250 orang setiap hari atau hingga waktu operasional selesai. Pada bulan Ramadhan, waktu operasional hanya hingga pukul 15.00.

Bank kerap "Offline"

Pendaftar BPJS Kesehatan lainnya mengeluhkan perbankan yang kerap "offline", padahal pembayaran harus dilakukan di bank.

"Bank sering ofline. Cara menyiasatinya ya harus bayar melalui ATM. Tapi kan tidak semua orang memiliki ATM," kata Susan Sutanto (50), warga Kembangan, Jakarta Barat.

Susan yang sudah tiga kali mendaftarkan beberapa anggota keluarganya ke Kantor BPJS Kesehatan mengatakan perbankan juga terlihat memiliki mekanisme yang berbeda-beda.

Susan menuturkan saat pertama kali mendaftarkan keluarga intinya dan membayar secara "online" ke bank, dia tidak dikenai biaya sama sekali.

Namun, dia mendapat informasi kalau di bank lain, pendaftar yang bukan nasabah bank tersebut dikenai biaya Rp10.000.

"Jadi ketika mendaftarkan kakak saya, saya sekalian buka rekening di bank itu. Informasinya kalau nasabah yang tidak membawa kartu ATM juga akan dikenai biaya Rp7.500," tuturnya.

Susan sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan bila perbankan menarik biaya untuk pendaftar BPJS. Pasalnya, bank juga harus mengeluarkan biaya kertas dan tinta untuk bukti pembayaran calon pendaftar.

Namun, dia mempertanyakan mengapa ada perlakuan yang berbeda antara bank satu dengan lainnya. Padahal, seluruh pembayaran pendaftaran BPJS harus melalui bank yang sudah ditunjuk, yaitu BRI, Mandiri dan BNI.

"Cara yang paling mudah untuk mendaftar melalui online. Setelah mendaftar online nanti mendapat virtual account untuk membayar di bank. Kalau saya biasanya mendaftar online di bank sekalian supaya dibantu dan tidak salah," katanya.

Sebab, Susan mengatakan ada beberapa pendaftar "online" yang datanya ternyata tidak sesuai. Data yang berbeda itu bisa memperpanjang waktu ketika mengambil kartu BPJS. Padahal, yang paling menghabiskan waktu dan tenaga adalah antrean saat pengambilan kartu.

Kebingungan

Seorang warga Kampung Duri, Jakarta Barat,Ahmad Hanafi(31) kebingungan saat akan mendaftarkan keluarganya ke BPJS Kesehatan karena namanya dan anaknya ternyata sudah terdaftar dan dibayar.

"Waktu itu saya titipkan berkas ke bank untuk mendaftar BPJS. Esoknya saat saya ke sana, diberi tahu kalau saya dan anak sudah terdaftar dan dibayar dan hanya tinggal mengambil kartunya saja," kata Hanafi.

Karena merasa belum mendaftar sebelumnya, Hanafi dan istrinya, Eva Latifa (29), pun kebingungan. Ketika ingin membayar supaya bisa mendaftar pun petugas bank menyatakan tidak perlu karena sudah dibayar.

"Orang bank bilang buat apa dibayar, kan sudah dibayari. Katanya kemungkinan dari APBD. Saya diyakinkan tinggal mengambil kartunya saja," kata Eva.

Petugas bank kemudian memberikan daftar peserta BPJS milik keluarga Hanafi. Di situ tercantum nama Hanafi dan anaknya, Nadzwa Latifa Ahmad, yang berhak mendapatkan layanan kesehatan di kelas II.

"Saya heran. Kalau saya masuk dalam penerima bantuan iuran, kan seharusnya tidak di kelas II, mungkin di kelas III atau bahkan di bawahnya," tutur Hanafi.

Saat ditanya kemungkinan namanya terdaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Sehat (KJS), program Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Hanafi mengatakan dia tidak pernah mendaftar dan memperoleh kartunya.

Kebingungan Hanafi akhirnya terjawab ketika dia dipanggil sesuai dengan nomor antrean. Menurut petugas BPJS, dia dan anaknya sudah terdaftar karena sebelumnya terdaftar sebagai penerima KJS sehingga preminya dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Hanafi kemudian memutuskan untuk mendaftar sebagai peserta biasa. Dia menyatakan enggan menerima bantuan dari Pemprov DKI Jakarta.

"Petugas BPJS bilang saya harus mutasi. Jadi Senin (7/7) saya harus kembali lagi. Biar yang lebih berhak saja menerima bantuan dari KJS," kata wiraswastawan itu.

Rumah sakit ditambah

Sementara itu, Didik Suhartono (57), yang otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan karena sebelumnya menjadi peserta Askes, berharap rumah sakit yang bekerja sama denga BPJS bisa bertambah.

"Dalam keadaan darurat, orang pasti akan memilih rumah sakit terdekat. Kalau tidak semua rumah sakit melayani BPJS, tentu akan menyusahkan masyarakat," kata pensiunan pegawai negeri sipil itu.

Didik, yang sudah pernah merasakan layanan kesehatan BPJS ketika menjalani operasi tumor usus itu, juga mengeluhkan obat dan alat kesehatan yang harus diambil sendiri oleh pasien atau keluarganya, tidak boleh oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.

Hal itu, kata dia, berbeda dengan pelayanan di rumah sakit untuk pasien non-BPJS yang ketersediaan obat dan alat kesehatan relatif lebih mudah karena pasien harus menyerahkan deposit terlebih dahulu saat awal masuk rumah sakit.

"Kalau pasien non-BPJS yang sudah deposit, pihak rumah sakit mudah sekali menyediakan obat. Kalau pasien BPJS, harus diambil sendiri. Bagaimana kalau pasien tidak ada keluarga yang mendampingi dan tidak bisa mengambil sendiri," tuturnya.

Didik juga mengeluhkan kualitas alat kesehatan yang diberikan BPJS. Karena penanganan penyakitnya belum usai, Didik harus dibuatkan "colostomy" atau anus buatan di perutnya untuk sementara.

Nah, kantong "colostomy" yang disediakan BPJS Kesehatan untuk menampung kotoran ternyata mudah terlepas karena perekatnya kurang melekat dengan kulit. Selain itu, kantong "colostomy" yang disediakan juga hanya bisa digunakan satu kali pakai.

"Akhirnya saya membeli sendiri kantong colostomy yang bisa merekat lebih kuat dan tidak sekali pakai sehingga lebih praktis digunakan bila bepergian," katanya.


Aturan pelaksana bermasalah

Terkait dengan penyelenggaraan BPJS Kesehatan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan permasalahan ada pada tataran aturan pelaksana, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013.

"Permenkes itu mengatur tentang sistem tarif. Masalahnya tarif yang diberikan menkes sangat murah sehingga rumah sakit dan klinik swasta tidak tertarik untuk menjadi penyedia layanan BPJS," kata Said Iqbal.

Sistem pembayaran menggunakan mekanisme INA CBGs yang ditetapkan berdasarkan paket-paket tertentu juga Iqbal nilai kurang tepat. Seharusnya, BPJS Kesehatan menggunakan sistem pembayaran "fee for service" sebagaimana terjadi ketika masih bernama PT Askes.

Iqbal mengatakan dengan mekanisme INA CBGs, sudah ditetapkan paket layanan kesehatan dan obat untuk penyakit tertentu. Padahal, kadang kala pasien harus mendapat layanan atau obat melebihi paket yang sudah ditentukan.

"Karena itulah muncul keluhan, masih ada obat yang harus dibeli sendiri. Kalau mekanisme fee for service, seluruh tagihan pasien akan diklaimkan ke BPJS. Memang nanti akan diverifikasi dulu mana yang bisa dibayarkan dan tidak," tuturnya.

Iqbal juga mendesak agar kerja sama dengan rumah sakit dan klinik swasta bisa diperluas dan diperbanyak. Namun, untuk memperbanyak rumah sakit dan klinik swasta yang melayani BPJS, maka permasalahan tarif harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Harus ada tarif yang wajar sehingga rumah sakit dan klinik swasta mau bergabung. sekarang ini tidak banyak yang mau bergabung. Kalau pun mau, pasti karena terpaksa," katanya.

Mengenai banyaknya antrean saat pendaftaran peserta BPJS, Iqbal mengatakan pada tahap selanjutnya nanti seharusnya tidak perlu lagi ada pendaftaran. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengamanatkan untuk seluruh rakyat.

"Jadi tidak perlu pendaftaran dan memiliki kartu. Untuk berobat nanti cukup dengan e-KTP. Dengan e-KTP kan data sudah lengkap. Bekerja di mana, bagaimana pajaknya. Jadi tidak perlu terlalu banyak kartu," katanya.

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014