Semarang (ANTARA) - Kesalahkaprahan dalam penulisan tanda baca dan ejaan terkesan sudah terlalu lama dibiarkan hingga dianggap suatu kebenaran.

Bahkan, jika ada seseorang yang menyampaikan kebenaran objektif (sesuai dengan EYD dan KBBI), pengguna bahasa Indonesia yang telanjur berpedoman pada kebenaran subjektif (kebenaran relatif) merasa "aneh" dan menyalahkan.

Tidak pelak lagi kita dengan mudahnya mengambil contoh kesalahkaprahan penulisan sejumlah tanda baca. Misalnya, penggunaan tanda garis miring (/) pada baris tanggal. Hampir semua media menggunakan tanda baca ini ketika menulis Sabtu (26/10/2024).

Sesuai dengan ketentuan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) V, tanda garis miring digunakan dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan penandaan masa 1 tahun yang terbagi dalam 2 tahun takwim.

Tanda garis miring juga digunakan sebagai pengganti kata dan, atau, serta setiap. Selain itu, untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau pengurangan atas kesalahan atau kelebihan di dalam naskah asli yang ditulis orang lain.

Kalau kita merujuk pada EYD V, penggunaan tanda hubung (-) dalam penulisan baris tanggal itu yang lebih tepat. Disebutkan dalam EYD V bahwa tanda hubung digunakan untuk menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang dinyatakan dengan angka. Dengan demikian, penulisan yang benar adalah Sabtu (26-10-2024).

Tanda hubung ini juga untuk menandai imbuhan atau bentuk terikat yang menjadi objek bahasan. Namun, pada kenyataannya masih ada spasi tanpa tanda baca tersebut ketika menulis bentuk terikat. Ambil contoh serba- bentuk terikat segala-galanya, semaunya, segala hal.

Jika serba- bertemu kata dasar digital, penulisannya serbadigital, bukan serba digital. Walaupun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lema serbadigital tidak ditemukan, seyogianya berpedoman pada EYD V.

Contoh penulisan serba- yang termaktub dalam KBBI, antara lain, serbaada, serbaakal, serbabaru, serbabisa, serbadua, serbaemas, dan serbaguna.

Bentuk terikat lainnya, misalnya pasca-. Misalnya, pascapanen, pascasarjana, pascabedah, pascadoktoral, pascajual, pascakawin, pascakrisis, pascalahir, pascamodern, pascaoperasi, pascaperang, pascaproduksi, dan pascausaha.

Jika lebih mencermati KBBI, penulisan bentuk terikat ini sebagian besar menyatu dengan kata dasar. Namun, ada pula melekat pada kata berimbuhan, misalnya purnajabatan. Contoh lain bentuk terikat penuh atau selesai ini selebihnya melekat dengan kata dasar seperti purnatugas, purnabakti,  purnajual, purnakarya, purnakaryawan, dan sebagainya. 

Belakangan juga sering kita temukan pula penulisan asta- (bentuk terikat delapan) yang terpisah dari kata dasar.

Tanpa menyebutkan nama media, ditemukan judul GP Ansor siapkan Asta Bisa untuk topang Asta Cita Prabowo-Gibran.

Jika mengacu pada EYD dan KBBI, penulisan judul tersebut seharusnya GP Ansor siapkan Astabisa untuk topang Astacita Prabowo-Gibran.

Di dalam KBBI VI Daring terdapat dua lema, satu bentuk terikat (asta-) dan satunya asta. Asta- bentuk terikat delapan, sedangkan asta bermakna makam keramat yang dianggap memiliki petuah.
 
Sumpah Pemuda

Sontak teringat kembali pada ikrar Sumpah Pemuda yang pernah berkumandang di arena Kongres II Pemuda, 27—28 Oktober 1928 atau 96 tahun lalu.   

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober merupakan momentum bagi pengguna bahasa Indonesia, termasuk wartawan, untuk selalu berupaya pengkristalan semangat dalam menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Wartawan seyogianya berada di garda depan dalam menjunjung bahasa persatuan karena hasil karya mereka tidak hanya informasi fakta-fakta di lapangan, tetapi menyajikan produk berupa kata-kata yang bakal menjadi acuan bagi pengguna bahasa Indonesia lainnya.

Ketaatan asas dalam penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar adalah suatu keniscayaan agar pembaca yang notabene masyarakat tidak bingung dengan kosakata yang makna dan penulisannya berbeda-beda.

Dalam bukunya berjudul Cakrawala Bahasa Indonesia II (1992), Dr. Jusuf Sjarif Badudu menekankan bahwa bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca.

J.S. Badudu mengemukakan bahwa bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus.

Kaidah ejaan bisa vide KBBI, sedangkan penulisan tanda baca mengacu pada EYD V yang merupakan pedoman resmi dalam penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Begitu pula dalam penggunaan tanda pisah (—). Tanda baca ini dapat digunakan untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian utama kalimat. Contoh penggunaan tanda pisah sebagaimana termaktub dalam EYD V sebagai berikut.

Kemerdekaan bangsa itu—saya yakin akan tercapai—diperjuangkan oleh bangsa itu sendiri.

Tanda pisah dapat digunakan untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang merupakan bagian utama kalimat dan dapat saling menggantikan dengan bagian yang dijelaskan.

Di dalam EYD V juga terdapat contoh penggunaan tanda baca tersebut. 

Soekarno-Hatta—Proklamator Kemerdekaan RI—diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota di Indonesia.

Rangkaian temuan ini—evolusi, teori kenisbian, dan pembelahan atom—telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.

Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah Pemuda—harus terus digelorakan.

Tanda pisah juga digunakan di antara dua bilangan, tanggal (hari, bulan, tahun), atau tempat yang berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'.

Tahun 2024—2029
Tanggal 26—31 Oktober 2024
Senin—Jumat
Jakarta—Bandung

Ketaatan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar menunjukkan patriotisme dalam mewujudkan ikrar Sumpah Pemuda: Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Editor: Achmad Zaenal M



 

Copyright © ANTARA 2024