Jakarta (ANTARA) - Hutan di Pulau Papua sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat adat yang menjadikan hutan tidak hanya sebagai sumber untuk mendapatkan pangan tapi juga merasuk dalam identitas mereka.

Hal itu yang disadari oleh masyarakat hukum adat yang berdiam di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Nikodemus Mondar, yang merupakan anggota sub-suku Nakna dari suku besar Tehit, menyebut masyarakat paham betul hutan adalah bagian vital dari hidup mereka, dan kehilangan hutan akan berdampak kepada masa kini dan masa depan.

"Kami selalu jaga. Jaga itu berarti kami tidak bisa menjual kayu yang besar-besar, ditebang, untuk bagaimana merusak hutan. Di tempat itu banyak binatang yang biasa kami berburu untuk hidup kami dan keluarga," ujar Nikodemus.

Hutan juga menjadi bagian identitas mereka. Tidak hanya untuk sub-suku Nakna, Gemna dan Afsya yang lebih banyak memanfaatkan wilayah hutan, tapi juga suku Yaben yang berdiam di distrik yang sama, meski mereka juga memanfaatkan wilayah mangrove dan perairan.

Beragam tempat penting untuk masyarakat adat di Distrik Konda dapat ditemukan ketika memasuki hutan-hutannya yang hijau dengan tutupan rapat. Ketika memasuki hutan hujan maka akan ditemukan tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat lokasi rumah adat, sekolah adat dan lain sebagainya.

Sebagai sumber penghidupan, akan ditemukan pula dusun sagu atau hutan sagu yang menjadi sumber bahan pangan, hutan tempat berburu dan meramu, lokasi memancing ikan serta mata air.

Kedua tipe lokasi itu, baik sebagai wilayah keramat maupun sumber pangan, memperlihatkan hubungan erat antara masyarakat adat serta alam, yang sudah terjalin sejak dahulu hingga kini.

Baca juga: Konservasi Indonesia: Program Kasuari perkuat pengelolaan hutan Sorsel

Peneliti Sajogyo Institute sekaligus Asisten Pengajar di Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Eko Cahyono, menjelaskan bahwa di banyak masyarakat adat dan masyarakat desa memiliki hubungan yang kompleks dan berlapis dengan tanah yang didiami sejak zaman nenek moyang mereka.

Hubungan masyarakat adat secara khusus dengan tanah dan sumber daya alam juga bersifat kompleks, dapat masuk ke dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, ekologi dan spiritual.

Ketika terjadi konversi hutan secara masif, maka masyarakat adat tidak hanya akan kehilangan wilayah hutan dan tanah tempat mencari bahan pangan yang biasa mereka konsumsi, tapi juga identitas mereka sebagai masyarakat yang berbasis hukum adat. Menghilangkan budaya, bahkan peradaban mereka yang sudah terekam ratusan tahun di sana.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu ketika ditemui ANTARA di Sorong, Papua Barat Daya pada Kamis (17/10/2024) ANTARA/Prisca Triferna

Upaya menjaga hutan

Hutan di Papua tidak hanya penting bagi mereka yang berdiam di sana, tapi juga masyarakat global secara umum. Dengan luasan 33,12 juta hektare atau 32,2 persen dari total luas tutupan hutan Indonesia, menurut data Badan Informasi Geospasial, hutan di Papua menjadi faktor penting untuk menangani perubahan iklim.

South Sorong Field Coordinator Konservasi Indonesia (KI) Raimer Helweldery secara khusus menyoroti peran penting hutan di Sorong Selatan mengingat tidak hanya hutan tropis, di wilayah tersebut terdapat juga mangrove dan lahan gambut. Ketiga ekosistem tersebut memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon, tapi juga melepaskan emisi ketika terjadi degradasi lahan.

Menurut data Badan Pusat Statistik pada 2019, luasan hutan di Sorong Selatan mencapai 499.777 hektare dibagi kategori hutan lindung, suaka alam, hutan produksi dan area penggunaan lain.

Mendampingi sub-suku Nakna dan Gemna serta Suku Yaben dalam proses mendapatkan penetapan hutan adat, dia menyebut meski masyarakat memanfaatkan kayu dari hutan tapi hal itu juga disertai dengan penanaman kembali yang bahkan sudah menjadi bagian dari peraturan kampung.

Baca juga: Penetapan hutan adat Sorong Selatan dukung kehidupan masyarakat

Tidak hanya itu, masyarakat di wilayah tersebut juga memiliki kearifan lokal tidak akan menebang batang mangrove yang masih muda tapi hanya yang tua dan sudah kering. Meski tidak akrab dengan ide bahwa hutan di wilayahnya menjadi salah satu benteng terakhir menghadapi perubahan iklim, tapi masyarakat lokal sadar bahwa berkurangnya tutupan hutan dan mangrove berarti kehilangan habitat burung, ikan dan udang yang menjadi sumber pangan mereka.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu paham betul arti hutan bagi masyarakat di Papua Barat Daya. Bahkan dia menyebut keinginan menjadikan seluruh kawasan yang masih memiliki tutupan hutan di wilayah tersebut menjadi hutan adat, agar tidak dapat dikonversi dan dapat dikelola oleh masyarakat demi mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Kekayaan hutan di Papua harus disertai dengan berdayanya masyarakat, apalagi mengingat potensi hutan di Papua untuk menyimpan karbon berarti terdapat potensi pendanaan. Seperti dari dana alokasi khusus dan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang salah satunya mengelola dana hibah dari komunitas internasional.

Dengan pemberdayaan masyarakat adat maka seruan untuk menjaga hutan untuk dunia dapat terimplementasi di tingkat dasar, karena memastikan masyarakat sejahtera dengan menjaga hutan dan mangrove yang ada di sana.

Baca juga: KLHK lakukan verifikasi penetapan hutan adat di Sorong Selatan

Pola pikir masyarakat juga terus dibentuk, dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terus melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak mengkonversi hutan, membuat pohon menjadi tabungan dan masyarakat dapat hidup dengan hasil hutan bukan kayu serta produk lain dari pengelolaan hasil hutan. Sosialisasi itu dilakukan dengan pendekatan kepada masyarakat, duduk bersama untuk mendengarkan keinginan dan harapan mereka.

Pemprov juga sudah menyiapkan anggaran untuk Perhutanan Sosial dan saat ini tengah menunggu penetapan enam hutan adat di Sorong Selatan. Terdapat pula edaran dari gubernur kepada bupati dan wali kota untuk Perhutanan Sosial, terutama fokus pada skema hutan adat.

Disiapkan pula program pemberdayaan masyarakat adat untuk produk hasil hutan bukan kayu. Pihaknya juga berencana untuk bekerja sama dengan berbagai pihak lain untuk pelaksanaannya, didukung dengan berbagai langkah pendanaan.

Tidak hanya itu, Pemprov Papua Barat Daya juga tengah menyusun dokumen rencana kerja mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan FOLU Net Sink 2030 untuk kawasan Papua Barat Daya, yang memiliki kawasan hutan hampir 4 juta hektare dengan potensi penyerapan dan penyimpanan karbon masih dalam proses penghitungan.

Diharapkan dengan rencana kerja yang matang maka hutan akan tetap terjaga sambil memastikan masyarakat adat di Papua Barat Daya sejahtera. Karena masyarakat adat yang menjadi penjaga hutan dan mangrove sudah memberikan hadiah kepada dunia yang menghadapi beragam dampak dari perubahan iklim.

Baca juga: Koalisi anak adat peduli lingkungan serukan perlindungan hutan Papua
Baca juga: Perwakilan masyarakat adat Papua apresiasi penyerahan SK Hutan Desa

 

Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024