Intinya dilihat defisitnya terjaga atau tidak. Karena pasar tidak terlalu melihat kualitas politik. Mereka hanya melihat kedisiplinan fiskalnya,"

Jakarta (ANTARA News) - Pasar finansial menyoroti kebijakan defisit calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo terkait menjalankan program-program yang direncanakan jika terpilih, kata Pengamat Ekonomi dari Bank Standard Chartered Fauzi Ichsan.

"Intinya dilihat defisitnya terjaga atau tidak. Karena pasar tidak terlalu melihat kualitas politik. Mereka hanya melihat kedisiplinan fiskalnya," ujar Fauzi Ichsan di Jakarta, Kamis.

Fauzi mengatakan, dari tim ekonomi Prabowo, belum ada komitmen untuk tidak merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit APBN, sebesar maksimal tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Justru signal yang dikeluarkan oleh tim ekonomi Prabowo adalah utang pemerintah dan korporasi Indonesia terlalu kecil dibanding PDB. Sehingga, masih ada ruang untuk membesarkan utang korporasi Indonesia untuk merealisasikan program infrastruktur pemerintahan Prabowo," tutur Fauzi.

Sementara itu, lanjutnya, tim ekonomi Joko Widodo atau Jokowi berkomitmen untuk tidak merevisi UU Keuangan Negara, sehingga menjaga defisit APBN sebesar tiga persen dari PDB.

"Artinya, jika Jokowi terpilih, defisit APBN akan tetap dibatasi maksimal tiga persen dari PDB. Sehingga, untuk merealisasikan program-programnya, otomatis harga BBM harus naik, subsidi BBM harus dikurangi, karena adanya batasan defisit APBN tersebut," ujar Fauzi.

Menurut dia, untuk membangun proyek infrastruktur diperlukan pendanaan dan kemampuan untuk membangun proyek tersebut, di mana pendanaan pemerintah hanya bisa membangun 10 sampai 20 persen dari total anggaran yang dibutuhkan.

Sisanya, tambah Fauzi, harus dari swasta berdasarkan komposisi "Public Private Partnership", sehingga dari sisi pemerintah, akan dilihat apakah menggunakan APBN secara efisien atau tidak.

Fauzi mengatakan, arah defisit APBN sangat penting, karena apabila pasar diyakini bahwa postur APBN akan tetap efisien, dalam arti subsidi bahan bakar minyak bisa dikurangi dan defisit terjaga dibawah tiga persen dari PDB, maka pasar finansial akan nyaman, rupiah dan pasar obligasi SBN bisa kembali menguat.

Namun, lanjutnya, kalau pemerintah yang baru membiarkan defisit APBN meledak di atas tiga persen dari PDB dengan revisi UU Keuangan Negara, maka dampaknya terhadap indikator finansial akan negatif.

"Ada dua dampaknya, pertama kalau defisit dibiarkan di atas 3 persen dari PDB, pemerintah yang baru tidak memiliki disiplin untuk menaikkan harga BBM. Sehingga, penyelundupan dan penimbunan akan tetap marak, konsumsi bbm subsidi juga akan tetap besar," tutur Fauzi.

Yang kedua, lanjutnya, dengan naiknya defisit APBN, otomatis biaya atau imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) atau SUN akan naik, karena tinggi rendahnya imbal hasil obligasi atau suku bunga utang ditentukan dengan seberapa perlu debitur menarik dana tersebut.

"Karena, semakin besar utangnya, maka semakin tinggi bunganya. Semakin besar utangnya, semakin tinggi imbal hasil SBN dan SUNnya," ucap Fauzi.

Pilpres 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan capres-cawapres yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
(S038/C004)

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014