Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan DPR sekarang ini tengah membahas paket undang- undang politik, dan berbarengan pembahasan itu, wacana penggunaan hak pilih TNI pada Pemilu 2009 mengemuka. Rencana penggunaan hak pilih TNI awalnya muncul menjelang Pemilu 2004, namun Panglima TNI ketika itu, Jenderal Endriartono Sutarto, secara tegas menolaknya, karena TNI belum siap menggunakannya. Namun, ia menjelang penyerahan jabatan Panglima TNI kepada Marsekal Djoko Suyanto, mengatakan bahwa TNI bisa menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009. Sejak itu, wacana penggunaan hak pilih TNI pun semakin mengemuka. Meski jumlah prajurit TNI hanya berkisar 330 ribu orang, dan jumlah itu kurang berarti dibandingkan dengan jumlah pemilih yang mencapai ratusan juta orang, atau jauh lebih kecil dibandingkan dengan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya, namun TNI tetap menjadi magnet besar bagi partai-partai politik di Indonesia. Pendukung hak pilih TNI umumnya dari kalangan pengurus partai politik, baik sipil atau pensiunan militer. Argumentasi yang ditonjolkan adalah hak setiap warga negara Indonesia menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum. Jika TNI tidak menggunakan hak pilihnya, prajurit TNI itu disebutkan sebagai warga kelas satu, bahkan ada yang menyebutkannya warga kelas dua, dan akan berdampak semakin sulit mewujudkan kontrol dan supremasi sipil atas militer. Mantan birokrat yang sekarang menjadi Presiden Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK), Ryaas Rasyid, termasuk pendukung hak pilih TNI. Penggunaan hak pilih TNI itu disebutkannya tidak masalah jika dilihat secara politis, konstitusi, dan demokrasi. "Lebih dari itu, prajurit TNI semestinya tidak dijadikan sebagai warga kelas dua karena hanya menjalankan kewajiban, sementara aspirasi politiknya dikebiri," katanya. Pengurus Partai Amanat Nasional (PAN), AM Fatwa, bahkan secara tegas menyatakan dukungannya agar hak pilih TNI digunakan mulai Pemilu 2009. Pemberian hak pilih itu disebutkannya akan mencerminkan pemerintahan yang demokratis dan tidak diskriminatif. Ia termasuk yang menyebutkan Pemilu 1955 sebagai contoh kesuksesan Pemilu meski militer ketika itu menggunakan hak pilihnya. Namun, ketidakstabilan pemerintahan pasca-Pemilu 1955 itu jarang dimunculkan, yang akhirnya berdampak muncuknya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dukungan terhadap hak pilih TNI juga diberikan pengurus Partai Demokrat, partai pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan juga Partai Golkar dan PDIP. Ketua Umum Partai Golkar saat ini adalah Wapres Jusuf Kalla, sedang pimpina PDIP adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Secara terpisah, Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga menyebutkan pemulihan hak pilih bagi TNI dan Polri cukup dengan merevisi salah satu pasal dalam UU Pemilu yang sekarang ini tengah dibahas pemerintah bersama DPR. Meski penggunaan hak pilih itu akan berdampak pada pemihakan atas salah satu Parpol, atau akan bersikap lebih dekat terhadap salah satu Parpol, namun para pendukung penggunaan hak tersebut kenyataannya tetap meminta TNI bersikap netral. Integritas TNI Penolakan penggunaan hak pilih TNI pada Pemilu 2009 ternyata juga cukup keras, terutama dari sesepuh TNI yang mengkhawatirkan rusaknya soliditas, integritas, dan netralitas TNI. Pengalaman pada rezim Orde Baru dimana militer digunakan sebagai alat politik dan alat kekuasaan telah menjadi suatu pembelajaran bagi TNI. Profesionalisme prajurit TNI sebagai alat pertahanan ketika itu turun drastis, karena militer menggeluti politik praktis. Mantan Menghankam/Pangab, Jenderal (Purn) Wiranto dan mantan Kasad Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, secara tegas menolak penggunaan hak pilih TNI mulai Pemilu 2009. Ia mengatakan, jika para prajurit ditanya apakah akan memilih atau tidak, maka mereka pasti akan bingung menjawabnya. Hal tersebut juga terkait dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang mewajibkan setiap prajurit patuh dan taat pada pimpinan. Wiranto mengatakan, jika hak pilih TNI direalisasikan maka akan lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan kebaikannya. Mudharatnya yaitu dapat menciptakan situasi rawan konflik internal, bahkan dikhawatirkan menjurus pada proses desintegrasi bangsa, mengganggu profesionalisme dan netralisme TNI. "Kebaikannya adalah hanya hak politik TNI terealisasikan," kata Wiranto dengan tegas. Senada itu, mantan Kepala BAIS TNI, Tyasno Sudarto, juga menilai penggunaan hak pilih TNI pada Pemilu 2009 akan berbahaya bagi integritas, netralitas, dan soliditas TNI. "Meski demikian, tampak ada tarikan kuat agar TNI ikut memilih dalam Pemilu, terutama dari paham liberal yang menghendaki TNI sebagai alat dari politik. Dengan kata lain, TNI hendak dipaksa memilih, dan itu akan membahayakan jati diri dan integritas TNI sebagai alat negara," kata jenderal berbintang empat itu. "TNI itu tugas pokoknya untuk mengabdi pada bangsa dan negara, dan loyalitas prajurit TNI itu hanya kepada bangsa dan negaranya. TNI itu tidak mengabdi pada golongan, apalagi kepada partai- partai politik," katanya. Menurut jenderal yang banyak menghabiskan karir militernya di bidang intelijen itu, jika TNI diminta menggunakan hak pilih pada Pemilu, maka ia tentunya akan melakukan pilihan di antar Parpol peserta Pemilu. Pemilihan itu, menurutnya, berkaitan dengan loyalitas, dan dikhawatirkan akan memunculkan dualisme loyalitas di kalangan para prajurit TNI. "Padahal, seluruh hidup prajurit TNI itu untuk kepentingan bangsa dan negaranya," katanya. Mengenai adanya pendapat yang mengatakan bahwa hak pilih merupakan hak dasar dalam demokrasi sehingga pelarangan penggunaan hak pilih itu akan melanggar HAM, ia mendukung dan mengakui bahwa hak pilih adalah hak setiap Warga Negara Indonesia. Namun perlu diingat, katanya, ketika seorang warga negara mendaftar sebagai prajurit TNI maka ada kontrak yang harus dipatuhinya, yakni hanya mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara. "Kontrak itu bukan berarti menghapus hak demokrasi Warga Negara Indonesia itu. Selama masa dinas aktif sebagai prajurit TNI, maka hak pilih itu tidak digunakan. Jika sudah pensiun atau tidak lagi sebagai prajurit TNI, maka hak pilih itu tentunya harus digunakan," katanya. Pro-kontra penggunaan hak pilih TNI tampak meruncing, dan Mabes TNI masih melakukan pengkajian tentang hak pilih TNI yang telah dilakukan sejak Maret 2006 lalu di 26 provinsi. Pengkajian itu perlu dilaksanakan karena masih adanya kegamangan di kalangan TNI maupun masyarakat terkait dengan penggunaan hak pilih TNI. Menurut Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, seusai menutup Rapim Terbatas TNI 2006 di Mabes Cilangkap pada 21 September lalu, tidak ada masalah bagi prajurit TNI apakah hak pilihnya akan digunakan atau tidak pada Pemilu 2009. Ia dengan tegas mengatakan bahwa institusi TNI tetap berpegang pada tiga hal mendasar dalam penggunaan hak pilih yakni pertama mengacu pada landasan hukum, peraturan, serta perundang-undangan, konsisten pada asas netralitas serta mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan institusi.(*)
Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006