Jakarta (ANTARA) - Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Pakuan Mujio menekankan pentingnya integrasi perencanaan ruang antara darat dan laut sehingga konektivitas ekosistem dapat terjaga dengan baik.
“Pada saat kita bicara antara konektivitas darat dan laut, pertama adalah konektivitas ekosistem. Pada saat ada kegiatan darat pasti akan berdampak ke laut,” kata Mujio dalam webinar daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Selain mendukung konektivitas ekosistem, kata dia, integrasi perencanaan ruang darat dan laut juga penting untuk dilakukan mengingat adanya ketergantungan pangan antara yang bersumber dari darat dan laut. Selain itu, juga adanya timbal balik (feedback) iklim dan interaksi kegiatan yang saling mempengaruhi antara darat dan laut.
Dalam menyusun integrasi ruang darat dan laut, menurut Mujio, integrasi sistem, fungsi, dan kebijakan harus diperhatikan. Integrasi sistem terdiri atas aspek lingkungan terestrial, lingkungan laut, dan aktivitas manusia yang semuanya saling terhubung satu sama lain.
Baca juga: IPB tekankan pentingnya integrasi tata ruang laut dan darat
“Tiga integrasi sistem inilah saya kira menjadi bagian yang harus kita dalami dalam menyusun rencana tata ruang integrasi darat dan laut,” ujar dia.
Kemudian integrasi fungsi, lanjut Mujio, juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Dalam perencanaan ruang darat dan laut, menurut dia, hal ini kerap tidak dipedulikan. Ia mengingatkan, jangan sampai kegiatan-kegiatan yang ada di darat bertentangan dengan wilayah perairan.
Berdasarkan pengalamannya, ia menilai perencanaan tata ruang perkotaan selama ini mengabaikan wilayah pesisir. Padahal, wilayah pesisir merupakan tumpuan dalam ekonomi biru (blue economy).
“Mereka (para perencana tata ruang) memandang perencanaan perkotaan pesisir lebih ke ‘dari darat ke laut’, bukan ‘dari laut ke darat’. Artinya, laut atau perairan pesisir itu hanya lebih sebagai buangan saja. Hal itu sangat ironis,” kata dia.
Baca juga: Indonesia dan Jerman kerja sama kurangi degradasi darat dan laut
Muji pun mencontohkan, salah satu dampak dari tidak adanya integrasi perencanaan ruang darat dan laut yaitu terjadinya rob atau banjir pesisir di wilayah Pantai Utara Jawa, terutama Pekalongan dan sekitarnya.
“Data terbaru itu sangat mencengangkan. Penelitian saya dan teman-teman pada tahun 2023, di Pekalongan itu land subsidence atau penurunan tanah sampai 3 cm per tahun. Itu sangat gawat sekali. Sementara Jakarta, land subsidence-nya cuma 75-100 milimeter per tahun,” kata dia.
Pada saat menyelesaikan permasalahan di pesisir, Mujio mengingatkan bahwa kebijakan yang dilahirkan tidak bisa terpisah begitu saja tanpa meninjau pemicu permasalahannya.
Sebagai contoh pada kasus abrasi, kebijakan yang dilakukan bukan saja berhenti pada bagaimana cara penanggulangan di hilir tetapi juga harus merunutkan permasalahan dari hulu, dimulai dari menemukan aspek pemicu, aspek tekanan, hingga kondisi lingkungan.
Baca juga: Jejaring nasional buat sistem standar pemantauan ekosistem pesisir
“Begitu juga pada saat terjadi pencemaran lingkungan, degradasi mangrove, dan sebagainya. Artinya pada saat kita mengeluarkan kebijakan, maka harus melihat dulu dari sisi pemicunya apa, tekanannya apa, dan kondisi lingkungan seperti apa,” kata Mujio.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024