Banda Neira, tanah pengasingan yang melahirkan kebebasan
Oleh Bayu Saputra
Jumat, 25 Oktober 2024 07:36 WIB
Karya-karya itu menunjukkan bahwa kendati diasingkan, Sjahrir dan Hatta tidak pernah benar-benar terputus dari perjuangan
Mendidik anak bangsa melalui sekolah sore
Di luar kesibukan intelektual, Hatta bersama Sjahrir mendirikan sekolah sore bagi anak-anak Banda Neira.
Di halaman belakang rumah pengasingan Hatta, terdapat tujuh pasang meja dan bangku tua serta satu papan tulis yang menjadi tempat mereka berdua mengajar anak-anak.
Bahkan di papan tulis itu, masih terpampang tulisan kapur “Sedjarah perdjoengan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia pada tahoen 1928”.
Syahdan, tak jauh dari rumah Hatta, berdiri rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Jalan Said Tjong Baadillah, samping Rumah Budaya Banda.
Rumah bergaya arsitektur Eropa itu terdiri atas bangunan utama di depan dan bangunan di belakang. Pada bangunan utama terdapat lima ruangan dan dua teras.
Di ruang tengah, terdapat gramofon tua milik Sjahrir masih tersimpan, memberikan gambaran bagaimana Bung Kecil itu menghabiskan waktu luangnya dengan mendengarkan musik-musik klasik gubahan Mozart, Beethoven, sampai Brahms.
Saat ini, bangunan belakang itu ditinggali oleh satu keluarga. Salah seorang penghuni rumah mengatakan mereka sudah lama menempati bangunan dan menggunakan dua ruangan belakang.
Mereka tinggal di rumah itu sembari merawat dan menjadi pemandu apabila ada wisatawan yang berkunjung.
Enam tahun pengasingan dan renungan perjuangan
Sama seperti Hatta, Sjahrir yang kelak menjadi diplomat sekaligus Perdana Menteri pertama Indonesia memanfaatkan waktunya di pengasingan untuk mengasah pemikirannya tentang politik, perjuangan pendidikan, hingga demokrasi bagi Indonesia.
Dalam bukunya Renungan dan Perjuangan, Sjahrir mengkritik otoritarianisme dan penekanan terhadap kebebasan individu.
Ia menuliskan gagasan mengenai pentingnya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam politik. Karya ini termasuk salah satu yang lahir melalui renungannya selama di pengasingan Banda Neira.
Karya-karya itu menunjukkan bahwa kendati diasingkan, Sjahrir dan Hatta tidak pernah benar-benar terputus dari perjuangan.
Mereka terus menelurkan ide, menulis, serta mengajar anak-anak bangsa. Bahkan, terus berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lain lewat surat.
Di tengah kesunyian pulau yang jauh dari hiruk-pikuk politik di Jawa, kedua tokoh itu merumuskan gagasan-gagasan besar yang kelak menjadi fondasi bangsa yang merdeka.
Banda Neira, yang awalnya ditujukan sebagai "penjara" untuk memadamkan semangat kemerdekaan, justru berubah menjadi tempat di mana pemikiran-pemikiran besar tentang bangsa dibentuk.
Pulau ini, dengan segala kesederhanaannya, memberikan ruang bagi Hatta dan Sjahrir untuk merumuskan konsep tentang kemerdekaan, nasionalisme, dan keadilan sosial.