New York City (ANTARA) - Saham Coca-Cola pada Rabu (23/10) turun hampir 2 persen setelah perusahaan itu melaporkan volume penjualan per unit pada kuartal ketiga (Q3) 2024 yang lebih lemah dari perkiraan.

Penurunan sebesar 2 persen dalam pengiriman konsentrat, yang disebabkan oleh waktu pengiriman, menyebabkan penurunan volume penjualan per unit secara keseluruhan sebesar 1 persen secara tahunan (year over year/yoy).

Volume turun 2 persen di kawasan Asia Pasifik dan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, sementara volume di Amerika Utara dan Amerika Latin tetap sama.

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Coca-Cola melampaui estimasi konsensus Bloomberg dalam laporan kuartal ketiganya.

Perusahaan tersebut melaporkan pendapatan 11,9 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.620), melampaui estimasi 11,61 miliar dolar AS. Laba per saham (earnings per share/EPS) yang disesuaikan mencapai 0,77 dolar AS, di atas perkiraan 0,74 dolar AS.

Coca-Cola juga mencatatkan pertumbuhan price/mix (harga yang harus dibayar pelanggan untuk sebuah produk) sebesar 10 persen, jauh lebih tinggi dari 6,51 persen yang diperkirakan. Namun, pertumbuhan volume penjualan per unit meleset dari ekspektasi kenaikan 0,42 persen.

Mengakui kemunduran sementara ini, CEO Coca-Cola James Quincey menyatakan keyakinannya akan kemampuan perusahaan untuk mengatasi kesulitan jangka pendek sembari mempertahankan fokus pada pertumbuhan jangka panjang.

"Meskipun mungkin menggoda untuk bergegas menilai inovasi produk sebagai sebuah keberhasilan atau kegagalan, dibutuhkan waktu sekitar satu dekade untuk mengetahui apakah tawaran inovasi besar benar-benar mencapai skala besar," ujar Quincey.

Quincey juga membahas ekspansi perusahaan baru-baru ini ke kategori alkohol. Selama beberapa tahun terakhir, raksasa minuman itu telah merambah ke pasar alkohol siap minum, meluncurkan kolaborasi seperti Sprite dengan Absolut dan Coca-Cola dengan Jack Daniels.

Ke depannya, Coca-Cola berencana meluncurkan produk campuran rum dan Coke pada 2025, bekerja sama dengan Bacardi.

"Ada bagian di dunia di mana konsumen terus menjadi cukup tangguh," kata CFO Coca-Cola John Murphy, menyebut Coca-Cola sebagai 'penerima manfaat' di pasar-pasar negara maju.

"Sisi positifnya, kami melihat belanja meningkat, kami melihat beberapa pendorong sentimen ke depan, suku bunga ketenagakerjaan... bergerak ke arah yang lebih baik," ujar Murphy.

Di sisi lain menurut dia, ada banyak variabel di luar sana yang masih belum pasti, tetapi pada dasarnya, konsumen terus berbelanja.

Perusahaan itu kini memperkirakan pertumbuhan pendapatan organik setahun penuh sebesar 10 persen, sedikit di atas panduan sebelumnya sebesar 9-10 persen. Meskipun sahamnya turun pada Rabu, saham Coca-Cola naik sekitar 15 persen dari awal tahun berjalan hingga saat ini (year to date).

Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2024