Secara kultur masyarakat Amfoang mempercayai Uis Neno atau Dewa Langit dan Uis Pah atau Dewa Bumi yang berkaitan dengan etnoastronomi
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sastri Sunarti mengungkapkan bahwa masyarakat Amfoang di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadikan penampakan bintang sebagai penanda pergantian musim dan masa panen.

Sastri menjelaskan tradisi masyarakat Amfoang ini berkaitan dengan etnoastronomi atau ilmu yang mempelajari pemanfaatan benda langit dalam budaya suatu masyarakat.

"Secara kultur masyarakat Amfoang mempercayai Uis Neno atau Dewa Langit dan Uis Pah atau Dewa Bumi yang berkaitan dengan etnoastronomi. Mereka menggunakan pengetahuan etnoastronomi sebagai pedoman untuk memulai musim tanam dan penanda musim," kata Sastri dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan menyebut gugus bintang Pleiades yang terdiri dari tujuh bintang utama sebagai Maklafu Kotog. Gugus bintang ini menjadi pedoman dalam menentukan waktu peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.

Baca juga: BRIN sebut studi paleoklimat ungkap perubahan iklim masa lampau
Baca juga: BRIN kembangkan teknologi penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia


Apabila gugus bintang ini nampak di langit timur setelah matahari terbenam di bulan November, maka musim kemarau telah berakhir dan berganti ke musim hujan. Hal ini menjadi penanda bagi masyarakat bahwa masa tanam telah dimulai.

Kemudian ada bintang Ha Man Gua yang terdiri atas empat bintang yang membentuk rasi bintang Crux atau salib selatan serta dua bintang terang yakni Alpha dan Beta Centauri.

Apabila formasi bintang ini terlihat di langit barat pada sore menjelang malam hari di bulan Oktober, menandai dimulainya musim hujan. Sebaliknya, apabila terlihat di langit timur pada awal Maret, maka telah memasuki musim kemarau.

Masyarakat Amfoang juga menentukan waktu panen madu dengan melihat bintang yang disebut Sua Oni atau bintang kejora dan Fafnome Timog atau bintang fajar.

Menurut Sastri, apa yang dilihat mereka sebagai bintang sebenarnya adalah Planet Venus.

Terbenamnya Sua Oni atau Venus menandai malam yang sangat gelap sehingga cocok untuk kegiatan panen madu hutan. Sedangkan terbitnya Venus dari timur atau Fafnome Timog menandai bahwa pagi segera tiba yang mengharuskan petani madu menghentikan kegiatan panen mereka.

"Studi etnoastronomi masyarakat Amfoang di sekitar Gunung Timau menunjukan aspek kultural yang berkaitan dengan objek luar angkasa yang mempengaruhi kehidupan mereka," ujar Sastri.

Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024