Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan pentingnya aspek pengawasan jika pemerintah nantinya resmi mengimplementasikan labelisasi kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) pada kemasan pangan olahan sehingga kebijakan tersebut berdampak positif bagi konsumen.

“YLKI sangat setuju dengan adanya PP No. 28 Tahun 2024 (yang salah satunya mengatur labelisasi gizi). Artinya, itu melindungi masyarakat. Namun implementasinya seperti apa? Itu yang harus dimonitor,” kata Sekretaris Eksekutif YLKI Sri Wahyuni saat dijumpai usai acara diskusi di Jakarta, Rabu.

Sri juga mengingatkan, konsumen kerap tidak membaca label dengan baik sebelum memutuskan untuk membeli suatu produk. Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat ketentuan labelisasi yang dapat melindungi konsumen, misalnya dengan menampilkan warna-warna tertentu yang sesuai dengan tingkatan kandungan GGL pada bagian depan kemasan.

“Misalnya, ada tanda traffic light. Kalau tanda hijau berarti aman. Kalau sudah tanda oranye, ini bahaya artinya kadar GGL tinggi. Karena konsumen malas baca, ya sudah lihat itu saja. Itu adalah bentuk negara untuk proteksi masyarakatnya,” kata Sri.

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menanggulangi penyakit tidak menular (PTM), sebagaimana yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pencantuman informasi nilai gizi dan/atau batas maksimum kandungan GGL pada pangan olahan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan PTM. Dalam aturan tersebut yang tertuang pada Pasal 195, produsen diwajibkan untuk mencantumkan label gizi termasuk kandungan GGL pada kemasan.

Terkait labelisasi tersebut, pemerintah pusat memiliki tanggung jawab untuk menetapkan ketentuan mengenai informasi kandungan GGL, pesan kesehatan, dan label gizi depan kemasan pada pangan olahan.

Diberitakan sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedang melakukan peninjauan terhadap ketentuan pencantuman pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL) melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutri-level.

Deputi 3 BPOM Elin Herlina menjelaskan, nutri-level ini terdiri atas empat tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL. Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi.

Penerapan kewajiban pencantuman nutri-level pada pangan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D.

Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Baca juga: YLKI: Cukai MBDK yang tinggi diharapkan bisa ubah perilaku konsumen
Baca juga: YLKI: Perlu ada regulasi yang mewajibkan label kadar lemak trans


Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024