Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggaet institusi nasional maupun mancanegara seperti Center for Southeast Asian Studies (CSEAS)-Kyoto University, STAIN Bengkalis, Politeknik Bengkalis, dan Universitas Riau, dalam upaya mengatasi kebakaran lahan gambut.

Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Albertus Sulaiman menjelaskan kolaborasi tersebut meneliti interaksi antara karbon dan tingkat muka air di lahan gambut dengan dinamika atmosfer dan iklim yang diyakini mempengaruhi sirkulasi global.

"BRIN melihat pentingnya kerja sama internasional dan nasional untuk mengatasi masalah kompleks ini sebagai langkah strategis memanfaatkan keahlian dan sumber daya secara luas,” ungkap Sulaiman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Ia menambahkan, kegiatan riset dilakukan di wilayah Riau dan Pulau Bengkalis karena lahan gambutnya cukup luas.

Adapun rangkaian kerja sama dan kegiatan yang dilakukan BRIN bersama para mitra telah menghasilkan beberapa produk sistem aplikasi, salah satu di antaranya adalah sistem pemantauan kebakaran lahan dan kabut asap yang dinamakan SIMOCAKAP.

Menurut dia, kebakaran lahan gambut merupakan masalah lingkungan serius yang berdampak luas, seperti ekosistem, kesehatan manusia, serta iklim global. Oleh karena itu, riset dinamika dan karakteristik tanah gambut menjadi strategi dalam rangka pencegahan kebakaran dan mitigasi yang efektif pada lahan gambut.

Sulaiman menjelaskan bahwa pada musim kemarau tingkat muka air tanah di lahan gambut menurun yang menyebabkan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar.

“Kebakarannya bisa berlangsung cukup lama dan menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan manusia,” ujarnya.

Sulaiman mengungkapkan tanah gambut memiliki karakteristik yang berbeda dari jenis tanah lainnya yakni memiliki kandungan air tinggi. Kandungan air yang tinggi membuat tanah gambut sangat lembab dan mudah terkompresi.

“Tanah gambut memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang besar, menjadikannya ekosistem penting dalam mitigasi perubahan iklim,” imbuhnya.

Kendati demikian, tanah gambut rentan terhadap kerusakan, terlebih ketika lahannya dikeringkan untuk keperluan pertanian atau pembangunan.

"Bahan organik yang sebelumnya terendam air mulai terdekomposisi dengan cepat untuk melepaskan karbon dioksida ke atmosfer. Hal ini berkontribusi terhadap pemanasan global,” jelasnya.

Baca juga: BRIN ajak warga berpartisipasi cegah kebakaran lahan dengan Simocakap
Baca juga: Pemprov Sumsel sosialisasikan RPPEG 2024-2053

Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024