Jejaring dari Badan Penyelenggara Haji harus ada hingga level kecamatan seperti yang dilakukan Kementerian Agama selama ini melalui kantor wilayah
Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Islam Negeri Jakarta Mustolih Siradj mengatakan perlunya masa transisi selama satu tahun sebelum Badan Penyelenggara Haji mengelola proses persiapan dan pelaksanaan ibadah haji secara mandiri.

"Ada masa transisi satu tahun terhadap Badan Penyelenggara Haji ini. Kenapa? Bukan meragukan, tetapi karena begitu (urusan haji) luas dan kita belum tahu nomenklaturnya," ujar Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, penyelenggaraan haji melibatkan berbagai pihak seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Imigrasi, hingga pemerintah daerah, sehingga perlu kolaborasi dan koordinasi yang selaras untuk pelayanan haji.

Di samping itu, jejaring dari Badan Penyelenggara Haji harus ada hingga level kecamatan seperti yang dilakukan Kementerian Agama selama ini melalui kantor wilayah. Sebab, proses pendataan, pendaftaran jamaah, hingga manasik haji dilakukan di level KUA.

"Yang namanya kegiatan haji itu, kan, puncaknya adalah memobilisasi ratusan ribu orang dari Indonesia ke Arab Saudi. Oleh karena itu, karena menyangkut persoalan teknis dari misalnya manasik hingga pendataan jamaah maka perlu transisi," kata dia.

Baca juga: Prabowo bentuk Badan Haji dan Umrah, pisah dari Kemenag
Baca juga: Prabowo ingin buat perkampungan khusus jamaah Indonesia di Tanah Suci


Tak hanya soal teknis di dalam negeri, persiapan pelayanan di luar negeri juga harus menjadi catatan. Kontrak-kontrak dengan syarikah atau Masyariq harus sudah dimulai. Kontrak-kontrak tersebut meliputi akomodasi, konsumsi, dan transportasi.

Sementara disinggung mengenai dibentuknya Badan Penyelenggara Haji, ia memandang bahwa pemerintah menangkap adanya kebijakan-kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi yang perlu direspons. Mereka tidak menggunakan skema G to G, tetapi kapitalisasi lewat peran swasta.

"Maka ini tidak berimbang kalau kemudian masih ditangani oleh Kementerian Agama, karena di sana dikelola business to business sehingga di sini juga harus B to B. Bisa sewa hotel, kemudian transportasi, katering, dan sebagainya," kata dia.

Pemisahan kewenangan dari Kementerian Agama, kata dia, bukanlah hal yang baru. Saat masih bernomenklatur Departemen Agama, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dibentuk sebagai pengelola zakat pada 2001. Adapun Depag/Kemenag bertugas sebagai regulator.

Begitu pula untuk urusan wakaf yang kini di bawah kewenangan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Termasuk Pengadilan Agama yang kemudian berada di bawah kewenangan Mahkamah Agung.

"Jadi untuk ha-hal seperti ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi Kementerian Agama," kata dia.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024