Penurunan deforestasi

Tidak hanya karhutla, Indonesia juga berhasil menurunkan tingkat deforestasi dalam 10 tahun terakhir. Angka deforestasi mencapai titik terendah pada 2021-2022 sebanyak 104 ribu hektare atau turun dari periode 2020-2021 sebesar 113,5 ribu hektare.

Menurut data KLHK, tingkat deforestasi tertinggi terjadi pada periode 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta hektare per tahun, yang kemudian turun pada periode 2002-2014 sebesar 0,75 juta hektare per tahun.

Data World Resources Institute (WRI) Global juga memperlihatkan deforestasi terendah dicapai di era Presiden Joko Widodo. Indonesia menjadi negara nomor satu tingkat penurunan deforestasi di dunia sebesar 65 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Penurunan tersebut dapat diatribusikan terhadap beberapa kebijakan dan program di sektor LHK yang dilakukan pemerintahan dalam 10 tahun terakhir, termasuk moratorium izin sawit baru melalui Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018, tata kelola hutan alam primer dan gambut, pengendalian kerusakan gambut dan mangrove. Kebijakan lainnya, pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan untuk sektor non-kehutanan, Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial serta rehabilitasi hutan dan lahan.

Indonesia telah mencetuskan target untuk mencapai penyerapan emisi gas rumah kaca lebih besar dari yang dihasilkan untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forest and other land use/FOLU) pada 2030, yang dikenal sebagai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Untuk mencapainya, pemerintah tidak hanya mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, tapi juga mendukung pengelolaan hutan lestari, memperluas perhutanan sosial, rehabilitasi hutan, memperkuat tata kelola gambut, perbaikan dan rehabilitasi mangrove, serta penegakan hukum dan pengembangan kebijakan baru.

Presiden Joko Widodo, kala itu menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan. Karena lingkungan yang tidak dijaga akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat, apalagi terdampak perubahan iklim saat ini.

Lingkungan yang tidak terjaga dapat berdampak kepada kesehatan serta menyebabkan kekeringan dan akhirnya akan memberikan tekanan terhadap pangan.

Pemerintah mengambil langkah-langkah bagi pemulihan lingkungan dan rehabilitasi hutan, termasuk mencegah degradasinya dengan memberikan akses pengelolaan hutan lestari kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Perhutanan Sosial sampai dengan Agustus 2024 sudah mencapai luas 8,018 juta hektare yang dikelola 1,4 juta kepala keluarga, dari target 12,7 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sudah ditetapkan Hutan Adat seluas 265.250 hektare dan yang sedang berproses penetapan seluas 836.141 hektare.

Untuk TORA, termasuk lahan transmigrasi, yang sudah dilepaskan dari hutan secara administratif mencapai sekitar 4 juta hektare. Menjadikan persentase perizinan pemanfaatan hutan saat ini antara swasta dan masyarakat masing-masing 74,4 persen dan 25 persen per 2024.

Jika laju penambahan pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat dapat terus ditambah, maka KLHK mengestimasikan jumlah tersebut dalam lima tahun ke depan akan mencapai 63 persen untuk swasta dan 37 persen oleh masyarakat.

Capaian-capaian yang ditopang dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada lingkungan berkelanjutan, maka akan dapat menjadi tonggak bagi Indonesia untuk berkontribusi terhadap dunia yang lebih lestari.

Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 86 OrkestrasiJokowi.  Selengkapnya bisa dibaca di Di Sini

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024