Kuala Lumpur (ANTARA) - Pemerintahan baru Republik Indonesia sudah terbentuk. Usai pelantikan pada Minggu (20/10) malam, Presiden RI Prabowo di Istana Negara segera mengumumkan jajaran para menteri dan wakil menteri, yang akan membantunya menjalankan roda pemerintahan hingga 2029.

Sudah pasti banyak hal yang menyita perhatian publik terkait kabinet baru yang diberi nama Kabinet Merah Putih dalam pemerintahan yang baru itu. Dari soal postur kabinet yang lebih besar hingga keberadaan menteri dan wakil menteri yang akan menduduki pos kementerian baru.

Salah satu yang menarik adanya Menteri dan Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, ada dua wakil menteri yang akan menangani isu-isu seputar perlindungan bagi pekerja migran dalam kabinet tersebut.

Jika sebelumnya yang mengurusi soal perlindungan bagi pekerja migran Indonesia adalah sebuah badan, yakni Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), kini statusnya berubah menjadi sebuah kementerian, yang tentu saja tidak lagi hanya sebagai fasilitator tetapi dapat juga bisa melakukan regulasi maupun deregulasi.

Dari perbincangan dengan beberapa pekerja migran yang ANTARA temui di Kuala Lumpur pada hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru, beberapa di antara mereka mengaku senang karena dengan pelantikan itu berarti pemerintahan RI akan terus berjalan.

Namun, ketika ditanya apa yang menjadi harapan mereka selaku pekerja migran dengan adanya pemerintahan baru, kebanyakan dari mereka enggan menyampaikannya. Bukan berarti mereka tidak memiliki harapan, hanya saja mereka tidak ingin terlalu berharap lalu akhirnya kecewa.

Kasdi asal Surabaya mengaku tidak terlalu ingat kapan tepatnya mulai menjadi pekerja migran di Malaysia. Dirinya hanya dapat memastikan itu terjadi sebelum Indonesia mengalami reformasi.

Bekerja sebagai tukang dari satu bangunan ke bangunan lain, dari satu gedung ke gedung yang lain di Malaysia dari sejak zaman pemerintahan Suharto hingga kini dipimpin oleh Prabowo, dirinya mengaku tidak banyak merasakan banyak perubahan. Toh kenyataannya dirinya tetap nukang (menjadi tukang) di sana.

Dengan usia yang tidak lagi muda dan persaingan lebih ketat di Indonesia, pilihan untuk kembali ke tanah air, menurut dia, hanya akan membuat dirinya kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang lebih baik dari yang diperolehnya di Malaysia.

Kasdi lantas sedikit menceritakan situasi terkini di sektor konstruksi di mana dirinya dan rekan-rekan sesama tukang asal Indonesia lainnya bekerja. Menurut dia, sangat terasa perbedaannya jika di bandingkan satu hingga dua tahun ke belakang, di mana persentase pekerja migran Indonesia menjadi semakin sedikit.
 
Arsip - Seorang pekerja migran Indonesia mengirimkan uang di salah satu tempat pengiriman uang di daerah Chow Kit, Kuala Lumpur, Kamis (4/4/2024). ANTARA/Virna P Setyorini

Tenaga tukang asal Indonesia berangsur tergantikan oleh pekerja migran dari Banglades. Ia mengibaratkan jika dalam satu proyek konstruksi ada 1.000 pekerja, bisa 900 berasal dari Banglades dan sisanya 100 orang, bahkan kurang, dari Indonesia.

Dari segi ketrampilan, menurut Kasdi, mereka cukup baik, memang tidak kalah dengan tukang dari Indonesia. Saat ditanya alasan pekerja migran dari Banglades kini lebih diminati oleh majikan, ia mengatakan kemungkinan alasan terbesar soal besaran upah yang lebih rendah.

Namun demikian, ia mengaku sejauh ini tidak merasa terancam dengan semakin banyaknya pekerja dari Bangladesh yang bekerja di Malaysia. Dengan keterampilan dan kinerja yang baik, ia meyakini majikan di Malaysia akan tetap mempertahankan keberadaannya.


Gaji lebih tinggi

Danang, rekan Kasdi yang juga merupakan tukang asal Madiun dan Gofur asal Surabaya, siang itu juga ada di sana. Ikut berbincang santai sambil menikmati teh o ais (es teh manis) di tengah cuaca panas Kuala Lumpur.

Danang mengatakan salah satu alasan mengapa banyak dari mereka memilih tetap bekerja di Malaysia, tidak lain soal upah. Jika rata-rata upah tukang atau pekerja bangunan di Indonesia per hari sekitar Rp80.000, maka di sana bisa mencapai sekitar 130 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp468 ribu hingga RM150 atau sekitar Rp540.000 per hari.

Dengan keterampilan dan tenaga yang sama, jelas perbandingan gaji yang mereka peroleh di Malaysia jauh lebih besar per bulan, bisa tembus angka Rp14 juta sedangkan di Indonesia hanya akan memperoleh Rp2 juta.

Mereka merasa tenaganya lebih dihargai di negara jiran, sangat wajar mereka bertahan di sana.

Meski tidak selama Kasdi, Danang sudah cukup lama bekerja di Malaysia di sektor yang sama,  termasuk juga pernah mengerjakan jaringan gas di Merdeka 118, gedung tertinggi ke-2 di dunia yang ada di pusat Kota Kuala Lumpur.

Tukang-tukang asal Indonesia sejak dulu memang banyak yang terlibat dalam pembangunan di Malaysia, termasuk dalam pembangunan proyek-proyek besar seperti jalan tol (Lebuhraya) Malaysia, Menara Kembar Petronas, pembangunan pusat pemerintahan Putrajaya, hingga yang baru tentu pembangunan menara Merdeka 118.

Danang sendiri lebih sering bekerja berkeliling di Semenanjung, sesuai dengan proyek yang diperoleh, dan kebanyakan pekerjaan luar ruang membuat jaringan pipa.
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024