Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka diharapkan menyusun kebijakan yang tepat bagi pekerja informal salah satunya di industri transportasi berbasis aplikasi (ride hailing).
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan,saat ini banyak angkatan kerja yang tidak terserap oleh sektor-sektor formal sehingga banyak dari angkatan kerja yang memilih bekerja di sektor informal yang antara lain buruh harian, pekerja borongan pabrik, atau juga sebagai Gig Worker (pekerja lepas) seperti ojek online (ojol) atau taksi online.
“Saat ini ekonomi RI hanya mampu menyerap sekitar 200 ribu tenaga sektor formal setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan PDB di kisaran 5 persen maka sektor formal hanya mampu menyerap sekitar 1-1,2 juta tenaga kerja per tahun,” kata Piter dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Pertumbuhan angkatan kerja baru setiap tahunnya berkisar antara 3- 4 juta, katanya, sementara ketersediaan lapangan kerja formal hanya mampu menyerap sekitar 1 juta tenaga kerja.
Dampak ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan kerja formal dengan pertumbuhan angkatan kerja inilah yang membuat banyak angkatan kerja yang memilih pekerjaan informal seperti ojol sebagai penopang biaya hidup.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Segara Research Institute bertajuk “Potret Beban Kerja Dan Penghasilan Pekerja Informal di Indonesia” menunjukan bahwa pekerjaan informal sebagai pengemudi taksi online dan pengemudi ojol menyerap lulusan S1 tertinggi dibandingkan pekerjaan informal lainnya.
Hasil survei itu menunjukkan sebesar 26,53% dari responden pengemudi taksi online, dan 17,42 persen dari responden pengemudi ojol adalah lulusan sarjana.
Menurut hasil survei tersebut, banyaknya angkatan kerja yang memilih bekerja sebagai pengemudi taksi online dan ojol dikarenakan keduanya memiliki banyak kelebihan dibandingkan sektor informal lainnya.
Pertama yaitu dari sisi penghasilan yang lebih besar, dimana rata-rata penghasilan per bulan mereka masing-masing Rp7,23 juta per bulan dan Rp 5,36 juta per bulan. Sementara pekerjaan informal lainnya, misalkan pengemudi konvensional hanya mendapatkan penghasilan rata-rata Rp4,79 juta per bulan.
Kemudian dari sisi jaminan keselamatan kerja dan kesehatan kerja, rata-rata pengemudi taksi online dan ojol mendapatkan bantuan kedua fasilitasi tersebut. Sementara pekerja informal lainnya menyatakan hanya sedikit dari mereka yang mendapatkan fasilitas tersebut.
Selain itu dari sisi waktu atau jam kerja. Dimana ojol atau taksi online memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel dalam menentukan sendiri jumlah jam kerja mereka.
Oleh karena itu, Piter berharap pemerintah memberikan dukungan kebijakan yang tepat terhadap potret pekerja informal sehingga regulasi yang ada mampu melindungi pekerja informal termasuk di sektor ride hailing.
Ketika hendak menerbitkan regulasi terhadap Gig Worker, tambahnya, pemerintah perlu memahami kondisi, tingkat kesejahteraan, dan fasilitas yang dibutuhkan para pekerja informal itu.
"Dan jangan sampai kebijakan tersebut mereduksi prinsip Gig Worker, karena akan merusak ekosistemnya," katanya.
Menurut dia, tugas pemerintah seharusnya bukan memformalkan pekerjaan informal ke formal, tapi lebih fokus pada penyerapan tenaga kerja di sektor formal.
Baca juga: Industri transportasi berbasis aplikasi dinilai tumpuan di tengah PHK
Baca juga: SMF bersama ADB siapkan pembiayaan rumah untuk pekerja informal
Baca juga: Komnas: Perempuan pekerja rumahan rentan alami eksploitasi, kekerasan
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024