Jakarta (ANTARA) - Ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan adalah dua pilar utama dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.

Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah Indonesia sudah siap menghadapi tantangan global terkait krisis pangan?

Apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial dan kemiskinan ekstrem yang masih banyak terjadi di daerah-daerah terpencil?

Bagaimana negara ini dapat memastikan bahwa semua rakyatnya, terutama yang paling rentan, memiliki akses terhadap pangan yang cukup dan berkualitas?

Tantangan global dalam hal ketahanan pangan kian meningkat, diperparah oleh perubahan iklim, konflik, dan gangguan rantai pasokan yang melanda berbagai negara.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan ketergantungan yang tinggi pada impor pangan, menghadapi risiko signifikan dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Sementara itu, upaya pengentasan kemiskinan belum sepenuhnya mencapai sasaran, dengan data terbaru menunjukkan bahwa 9,57 persen atau sekitar 26,36 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2023.

Peningkatan angka ini sebagian disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19, yang memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.


Prioritas Prabowo

Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto menegaskan pentingnya mencapai swasembada pangan sebagai salah satu prioritas utama pemerintahannya.

Ia menekankan bahwa Indonesia harus segera memastikan kemandirian dalam hal pangan dan tidak boleh bergantung pada impor, terutama dalam situasi krisis.

Hal ini bukan hanya soal ketahanan ekonomi, tetapi juga menyangkut keamanan nasional. Dalam situasi darurat, tidak ada negara yang akan bersedia menjual sumber pangannya kepada negara lain jika mereka sendiri kekurangan.

Oleh karena itu, fokus Prabowo adalah mempercepat pencapaian ketahanan pangan, dengan menitikberatkan pada peningkatan produksi domestik​.

Pentingnya ketahanan pangan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan) dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).

Tantangan utama di sini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri sambil memastikan distribusi yang merata ke seluruh penjuru negeri, khususnya ke daerah-daerah yang sulit dijangkau.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun produksi beras nasional meningkat, Indonesia masih mengimpor sekitar 1,1 juta ton beras pada 2023.

Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pada impor pangan masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi dalam waktu dekat.

Untuk mendukung pencapaian swasembada pangan, Prabowo merancang strategi nasional yang dapat mempercepat produksi pertanian, mengurangi ketergantungan impor, dan menciptakan sistem distribusi yang lebih efisien.

Di sisi lain, upaya diversifikasi pangan juga perlu diperkuat agar masyarakat tidak hanya bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama. Inisiatif seperti ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga berkontribusi pada pencapaian target SDG yang lebih luas, termasuk pengurangan kemiskinan.


Mengatasi kemiskinan

Selain ketahanan pangan, Presiden juga menegaskan pentingnya pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama.

Program subsidi bagi masyarakat miskin akan terus dilanjutkan, bersama dengan upaya pemberantasan korupsi yang dapat memperbaiki tata kelola pemerintah dan memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam konteks ini, Presiden berkomitmen untuk melanjutkan Program Makanan Bergizi Sekali Sehari bagi masyarakat kurang mampu.

Program ini diharapkan dapat memberikan dampak langsung dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama anak-anak dan lansia, yang rentan terhadap masalah kekurangan gizi.

Namun, upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa berhenti pada program-program bantuan sosial semata. Ketimpangan regional di Indonesia masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah Indonesia Timur yang memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya.

BPS mencatat bahwa pada Maret 2023, tingkat kemiskinan di Maluku dan Papua mencapai 19,43 persen atau jauh di atas rata-rata nasional.

Oleh karena itu, pemerintah harus berfokus pada pengembangan ekonomi di daerah-daerah tersebut melalui peningkatan infrastruktur, akses pendidikan, dan kesempatan kerja yang lebih luas.

Di sisi lain, langkah pemberantasan korupsi yang menjadi sorotan dalam pidato Presiden juga menjadi kunci penting dalam memperbaiki tata kelola pemerintah.

Korupsi tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga menghambat distribusi bantuan sosial dan program-program pengentasan kemiskinan.

Dalam hal ini, Presiden menekankan pentingnya penguatan institusi hukum dan penerapan hukum yang tegas terhadap para pelaku korupsi.

Komitmen ini sejalan dengan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh), yang menekankan pentingnya menciptakan institusi yang transparan dan akuntabel.


Tantangan global

Tantangan global yang dihadapi saat ini, termasuk perubahan iklim dan gangguan rantai pasokan pangan, semakin memperburuk situasi ketahanan pangan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

PBB memprediksi bahwa kelaparan global dapat meningkat tajam pada dekade berikutnya jika langkah-langkah mitigasi yang efektif tidak segera diambil.

Laporan FAO tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 735 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan, meningkat dari 690 juta pada 2022 .

Di Indonesia, dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian sudah mulai dirasakan, dengan hasil panen yang menurun akibat cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan.

Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi produksi pangan, tetapi juga memperburuk kemiskinan di daerah-daerah pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian.

Oleh karena itu, pendekatan komprehensif yang mencakup adaptasi iklim dan peningkatan infrastruktur pertanian menjadi sangat penting. Pemerintah juga perlu mendorong penggunaan teknologi pertanian modern untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sekaligus mengurangi dampak lingkungan yang merugikan.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, kerjasama internasional menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Indonesia harus terus memperkuat kemitraan dengan negara lain dan organisasi internasional dalam mengatasi isu-isu global seperti kemiskinan dan ketahanan pangan.

Partisipasi aktif Indonesia dalam forum-forum internasional seperti G20 dan ASEAN memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan belajar dari negara-negara lain yang berhasil mengatasi masalah serupa.

Selain itu, program-program bantuan internasional, seperti yang difasilitasi oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank, dapat membantu Indonesia dalam mempercepat pembangunan infrastruktur dan penguatan jaring pengaman sosial.

Dengan berbagai kebijakan yang telah dicanangkan, pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan komitmen yang kuat terhadap ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.

Namun, keberhasilan implementasi kebijakan tersebut sangat bergantung pada tata kelola yang baik, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung program-program pemerintah.

Sebagai pakar dalam Pembangunan Berkelanjutan dan pembuatan kebijakan berbasis data, penulis melihat bahwa upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan di Indonesia memerlukan strategi yang lebih terukur dan berkelanjutan.

Data dan penelitian harus menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan, memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam hal ini, Indonesia perlu memperkuat kapasitas institusi riset untuk mendukung pengumpulan data yang akurat dan komprehensif, serta meningkatkan kolaborasi dengan berbagai lembaga internasional untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan selaras dengan standar global.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang kuat dalam hal ketahanan pangan dan mampu mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan.

Namun, tantangan yang dihadapi tidak bisa dianggap remeh. Pemimpin yang visioner, tata kelola yang baik, serta partisipasi aktif masyarakat dan komunitas internasional adalah kunci utama dalam mewujudkan visi tersebut.

Dengan komitmen bersama, Indonesia dapat mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyatnya.


*) Penulis adalah Pakar Pembangunan Berkelanjutan, Riset, dan Pembuatan Kebijakan Berbasis Data.

Copyright © ANTARA 2024