Frankfurt (ANTARA) - Bayangkan Anda hidup di sebuah dunia dengan pengalaman membaca yang dapat dipersonalisasi. Bayangkan Anda memiliki asisten yang mampu mengingat buku-buku yang Anda baca dan menganalisis preferensi serta reaksi emosi Anda, bertindak seperti seorang penulis pribadi yang menciptakan cerita-cerita unik hanya untuk Anda.
Setiap halaman yang Anda buka terasa seperti percakapan dengan seorang teman lama yang memahami Anda dengan sempurna.
Saat skenario yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ini mendekati kenyataan dengan kemajuan pesat dalam teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), apakah Anda akan merasa takut, gembira, atau sekadar menikmati pengalaman itu?
Gegap gempita seputar potensi transformatif AI terasa kuat dalam ajang Pameran Buku Frankfurt tahun ini. Para penerbit, penulis, dan penggemar teknologi di ajang tersebut sangat antusias untuk mengeksplorasi pengaruhnya terhadap dunia sastra.
PEMENANG ATAU PECUNDANG?
"Tidak peduli seberapa muda atau tua usia kita; AI akan menjadi sesuatu yang kita bicarakan sepanjang sisa hidup kita," kata Jeremy North, direktur pelaksana penerbitan buku di Taylor & Francis, kepada Xinhua. "Pertanyaan sebenarnya adalah: apakah kita akan menjadi pemenang AI atau pecundang AI? Jawabannya adalah pemenang AI, kita harus bersedia mengambil risiko dan bereksperimen, meskipun kita belum memiliki semua jawabannya."
Niels Peter Thomas, direktur pelaksana penerbitan buku di Springer Nature, berbagi dengan Xinhua bahwa AI, yang didukung oleh pengawasan manusia yang tepat, berpotensi mempercepat penemuan.
"Springer Nature telah menggunakan AI selama lebih dari 10 tahun. Kami telah menerbitkan beberapa buku yang dibuat oleh mesin," tuturnya, seraya menambahkan bahwa perusahaan tersebut baru-baru ini menerbitkan buku akademis menggunakan AI generatif. "Butuh waktu kurang dari lima bulan dari awal hingga penerbitan, sekitar separuh dari waktu biasanya."
Thomas mendesak kolaborasi antara penerbit, penulis, dan pemangku kepentingan untuk mengeksplorasi potensi dan batasan AI.
Claudia Roth, Menteri Kebudayaan dan Media Jerman, mengatakan dalam sebuah diskusi panel bahwa AI telah mencapai kemajuan luar biasa selama bertahun-tahun.
"AI telah menjadi alat yang hebat, memberikan efisiensi dan kecepatan yang luar biasa, serta hasil yang mengesankan. Namun, apakah itu hanya sekadar alat, atau seperti sapu ajaib yang tidak dapat dihentikan oleh mantra apa pun?" katanya.
BIAS MESIN ATAU MANUSIA
Thomas menyoroti bias yang melekat dalam pengambilan keputusan manusia, mengatakan bahwa prasangka, kesenjangan pengetahuan, agenda tersembunyi, dan keyakinan politik semuanya memengaruhi objektivitas.
Dia mengatakan bahwa pada tahap awal pengembangan AI, diharapkan bahwa mesin, yang bebas dari subjektivitas manusia, akan menghilangkan bias ini. "Namun, mungkin kita mengganti bias manusia dengan bias mesin karena cara mesin diprogram pada akhirnya dilakukan oleh seseorang yang memiliki keyakinan."
Penulis Islandia Halldor Gudmundsson menekankan bahwa AI beroperasi berdasarkan kemungkinan dan membuat keputusan berdasarkan probabilitas. "Namun, ini berarti bahwa terkadang AI berbohong. Alih-alih memeriksa fakta, AI justru menciptakannya, yang mengarah pada misinformasi," tuturnya.
Henning Lobin, direktur ilmiah Institut Leibniz untuk Bahasa Jerman, mengatakan bahwa model AI, seperti ChatGPT, bergantung pada kumpulan data yang sangat besar. Namun, tidak ada langkah-langkah regulasi yang jelas, sehingga menimbulkan masalah signifikan terkait hak cipta dan keamanan.
Claudia Kaiser, wakil presiden Pameran Buku Frankfurt, mengatakan kepada Xinhua bahwa pengaruh AI pada industri, tenaga kerja, dan berbagai bisnis masih berjalan. "Perubahan besar akan terjadi, tetapi tidak seorang pun benar-benar tahu apa artinya bagi industri."
Dia menambahkan bahwa masalah yang mendesak adalah masalah hak cipta, siapa yang memiliki hak atas konten yang dihasilkan AI? "Semua orang mencoba memahami apa arti AI bagi penerbitan dan peraturan seperti apa yang dibutuhkan agar AI dapat berkembang tanpa menyebabkan terlalu banyak kerugian bagi industri."
PENGAWASAN DAN TRANSPARANSI
"AI adalah sebuah alat, dan seperti alat lainnya, itu selalu membutuhkan pengawasan dan koreksi, kita selalu membutuhkan manusia dalam prosesnya," papar Thomas. "Manusia harus bertanggung jawab karena konsep tanggung jawab adalah sesuatu yang tidak dapat dengan mudah digantikan oleh kecerdasan buatan."
Dia menekankan pentingnya transparansi, menuturkan bahwa perusahaan penerbitan mereka telah memutuskan bahwa setiap kali mereka menggunakan AI, hal itu akan ditandai dengan jelas. "Jika kami menerbitkan buku yang telah diterjemahkan oleh mesin, kami akan melabelinya seperti itu."
Pakar tersebut menekankan perlunya memiliki tujuan yang jelas untuk penggunaan AI. "Kita seharusnya hanya menggunakan teknologi jika kita memiliki tujuan yang jelas untuk menggunakannya," katanya. "Meskipun tidak menimbulkan bahaya, jika kita tidak memiliki alasan yang kuat, kita seharusnya tidak menggunakannya."
Bagi Jeremy North, menetapkan standar industri baru sangat penting. "Tidak ada satu pun penerbit atau perusahaan media yang akan memiliki semua jawaban," katanya. "Pemasok baru akan muncul dengan perangkat lunak atau teknologi, dan kita tidak dapat menemukan jawabannya secara individu. Penerbit perlu berbagi wawasan dan belajar satu sama lain."
North mengungkapkan optimismenya bahwa "seperangkat standar dan protokol baru akan muncul" untuk membantu industri mengelola AI secara efektif dan adil. "Ini akan memungkinkan kita untuk terus bersaing sebagai penerbit sambil memberikan nilai bagi penulis dan pembaca, memastikan bahwa penerbitan terus bekerja dengan baik."
"Kita harus menyadari sisi negatifnya, tetapi itu seharusnya tidak menghentikan kita untuk bereksperimen dan bersikap optimistis tentang hal-hal baik yang dapat dihadirkan oleh AI," katanya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2024