"Data BPS tahun 2022 menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat kita sangat rendah. Tidak tamat SD itu sebanyak 30 juta lebih, tamat SD sekitar 64 juta, SMP 40 juta, SMA 57 juta dan S1 (sarjana) hanya 12 juta,"

Makassar (ANTARA) - Deputi Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Johannes Rohi mengungkapkan, salah satu faktor pemicu masih terjadinya praktik politik uang pada setiap pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah adalah tingkat pendidikan di masyarakatnya.

"Data BPS tahun 2022 menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat kita sangat rendah. Tidak tamat SD itu sebanyak 30 juta lebih, tamat SD sekitar 64 juta, SMP 40 juta, SMA 57 juta dan S1 (sarjana) hanya 12 juta," ungkapnya saat Rakor pengawasan Bawaslu Maros Bersama stakeholder di Hotel Dalton Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.

Bila melihat data tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, kata dia, sejauh ini masih didominasi tamatan sekolah dasar (SD), sehingga sangat rentan terpapar politik uang, sebab selain kebutuhan ekonomi juga pengetahuan yang minim.

"Terlihat ada disparitas atau angka selisih tinggi sekali pada tingkat pendidikan SD sampai S1, inilah kemudian menjadi alasan mengapa politik uang sulit di bendung," tutur dia.

Johannes bilang, masyarakat yang pendidikan di bawah rata-rata atau masih berada pada ekonomi ke bawah tentu lebih memilih menerima uang jika diberikan, karena uang Rp100 ribu sampai Rp200 ribu sangat berarti buat mereka.

"Itulah yang membuat 'serangan fajar' sangat efektif dilakukan para calon-calon ini untuk mendapatkan suara. Dari beberapa hasil riset penerima politik uang itu rata-rata perempuan, sasarannya emak-emak," ucapnya.

Apalagi Indonesia. lanjut dia, masuk urutan ketiga dunia terkait praktik politik uang setelah dua dari negara Afrika yakni Uganda dan Benin, mengutip hasil riset Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi.

Data itu terungkap dari hasil riset yang Burhanudin lakukan pada dua Pilpres yakni 2014 dan 2019. Hasilnya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat praktik politik uang.

"Data demografi pendidikan ini menjadi salah satu tolok ukur juga dalam melihat tingkat ekonomi dalam satu negara, sehingga itu menjadi alasan politik uang sangat sulit diturunkan," katanya.

Politik uang lainnya yang sangat sulit terdeteksi adalah mahar Partai Politik. Di mana setiap para calon akan memburu bahkan berani membeli partai sebagai kendaraannya untuk ikut berkontestasi, sebab salah satu syarat paling mudah adalah mendapat dukungan parpol.

"Tentu ada kelemahan pengawasan di sini, karena Bawaslu tidak memiliki kewenangan penuh dan secara jelas mengatur soal itu. Fakta yang terjadi seperti itu, sehingga bermunculan kolom kosong di daerah-daerah pada Pilkada serentak tahun ini," ucapnya menekankan.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih (TePI) Indonesia Jeirry Sumampow dalam rapat itu memaparkan tentang partisipasi strategis stakeholder dalam mencegah isu Suku Ras dan Agama (SARA), hoaks dan ujaran kebencian untuk Pilkada berintegritas.

Jeirry bilang, praktik politik uang terjadi selain lemahnya pengawasan juga edukasi pendidikan politik ke masyarakat minim. Selain itu, isu Suku Ras dan Agama (SARA), hoaks serta ujaran kebencian juga menjadi bayang-bayang pada setiap Pemilu dan Pilkada.

"Perlu peran masyarakat sipil untuk membantu pengawasan dan pemantauan Pilkada. Ada tiga poin harus dijalankan, pertama integritas Pilkada, kedua edukasi masyarakat dan ketiga memperkuat demokrasi. Pencegahan praktik politik uang tidak dengan hanya di cerita tapi dilaporkan," katanya menekankan.

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024