Tantangan memperkokoh HAM

Ketekunan Mugi terhadap bidang pemajuan HAM mengantar sang aktivis menempati kursi barunya, yakni Wakil Menteri HAM Republik Indonesia. Tentunya, jabatan tak datang dengan cuma-cuma. Jabatan ini disertai dengan tanggung jawab bagi Mugi untuk turut menyukseskan visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045.

Guna menyukseskan visi tersebut, Prabowo dan Gibran telah merumuskan delapan misi yang disebut Astacita. Sesuai dengan namanya, Astacita terdiri atas delapan pokok haluan yang akan dijalankan oleh Prabowo dan Gibran bersama kabinetnya selama periode kepemimpinannya.

Misi-misi tersebut meliputi memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia; serta memperkuat kesetaraan gender, penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Kedua misi itu sangat lekat dengan tanggung jawab Mugi sebagai Wakil Menteri HAM.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa sedikitnya terdapat empat RUU yang harus diperjuangkan, yakni RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Masyarakat Adat, revisi UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan ratifikasi protokol opsional konvensi menentang penyiksaan (OPCAT).

Penuntasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga merupakan salah satu RUU yang dinanti-nanti oleh para pejuang HAM.

Kendala utama yang dihadapi oleh RUU KKR adalah belum adanya urgensi dan dukungan politik bagi keberadaan UU KKR dan pembentukan KKR.

Padahal, RUU KKR dapat memberi landasan hukum dan kebijakan yang lebih substantif bagi upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Atnike juga meyakini UU KKR dapat memperkuat kelembagaan dan dukungan sumber daya bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban.

Meski tidak secara gamblang termaktub dalam Astacita, Mugi tetap harus menemukan solusi untuk mengatasi sulitnya mengadili para pelaku kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di 12 peristiwa yang diakui oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Peristiwa 1965–1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982–1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998–1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001–2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak bisa dipisahkan dari mekanisme yudisial. Hal ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan bagi para korban.

Kini, tugas tersebut diletakkan di pundak Mugi bersama Natalius Pigai selaku Menteri HAM dan Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

Akan tetapi, berbeda dengan Natalius maupun Yusril, beban tersebut juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral Mugi untuk memperjuangkan hak dan keadilan yang direnggut dari rekan-rekan aktivisnya, berikut dengan keluarga mereka. Bukan hanya kepada korban peristiwa 1998, melainkan termasuk peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya.

Selamat bertugas, Mugiyanto. Selamat memperjuangkan hak para korban dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024