Lanzhou (ANTARA) - Menyeduh teh, memanjakan diri dengan rasa dan aromanya yang menyegarkan, merupakan salah satu kegiatan favorit bagi Dong Yinhua (67).

"Selama masa muda saya, jangankan menyeruput teh, saya hanya bisa minum air 'pahit' yang jumlahnya pun terbatas. Sekarang, saya sangat menikmati menyeruput teh yang diseduh dari air bersih dan menikmati manisnya kehidupan," tutur Dong, seorang warga Desa Pinghe yang berada di wilayah Tongwei, Dataran Tinggi Loess, Provinsi Gansu, China barat laut.

Desa Pinghe dilalui Sungai Kushui, yang berarti sungai air pahit dalam bahasa Mandarin. Di masa lalu, sungai ini merupakan sumber air utama bagi warga setempat.

Curah hujan tahunan rata-rata di wilayah ini sekitar 380 mm, sedangkan tingkat penguapan tahunan rata-ratanya mencapai 1.500 mm, dengan sumber daya air per kapita sekitar 10 persen dari rata-rata nasional. Masalah sumber daya air yang minim di wilayah ini telah menyebabkan kondisi kehidupan yang sulit dan kemiskinan yang mengakar bagi masyarakat Tongwei.

Untuk mendapatkan air bersih, warga desa Pinghe harus mendaki gunung dan mengambil air dari mata air yang memiliki sedikit endapan. Air dari sumber tersebut harus didiamkan selama lebih dari setengah hari untuk mengendapkan kotorannya.

"Kualitas airnya sangat buruk. Ketika diminum, rasa pahit dan payau akan terasa di lidah," kata  Dong.

"Kami sering mengantre selama setengah hari. Pada musim dingin ketika jalan membeku, saya terkadang terpeleset dan tumpahan air dari ember akan membasahi celana saya. Saya pun terpaksa mengantre lagi, Sepulang sekolah, anak-anak langsung mengambil ember dan mengantre untuk mengambil air, alih-alih mengerjakan pekerjaan rumah mereka terlebih dahulu," katanya.

Pada 1977, warga desa mulai membangun sumur-sumur penampungan air. Namun, sumur-sumur tersebut tidak dapat mengakses air tanah akibat kekeringan. Alhasil, sumur-sumur itu hanya digunakan untuk menampung air hujan dan mencegah penguapan.

Mulai 1995, jaringan pipa mulai dihubungkan ke atap rumah-rumah warga di Pinghe dan dua sumur penampungan air dibangun untuk setiap rumah tangga di bawah dukungan dan pendanaan pemerintah Gansu, yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan air minum bagi manusia dan hewan. Meski demikian, masalah kekurangan air belum dapat teratasi.

Situasi berubah berkat adanya proyek pengalihan air, yang mengalihkan air dari Sungai Taohe, anak sungai utama Sungai Kuning, ke daerah-daerah yang mengalami kekurangan air di bagian tengah Gansu.

Proyek ini dimulai pada 1958, namun sempat ditangguhkan akibat keterbatasan dana dan teknologi. Proyek ini kemudian diluncurkan kembali pada 2006 dan dua fase proyek tersebut rampung pada 2021.

Sejak proyek tahap pertama rampung pada 2014, proyek tersebut telah mengalihkan lebih dari 1 miliar meter kubik air, yang memberikan manfaat bagi hampir 6 juta orang, menurut dinas sumber daya air Gansu.

Setelah pipa-pipa air dipasang, rumah-rumah warga di Pinghe mulai dapat mengakses air keran pada 2015. Saat ini, semua desa dan hampir semua rumah tangga di Tongwei telah memiliki akses ke air keran.

"Dulu, saya mandi hanya beberapa kali dalam setahun, namun sekarang saya bisa mandi hampir setiap hari," kata Dong, yang telah membangun kamar mandi di rumahnya.
 
Anggota staf mengolah hawthorn di lokakarya di Kota Hawthorn, sebuah taman pertanian dan resor pariwisata, di Kota Changjiahe, Kota Dingxi, Provinsi Gansu, China, pada 14 Oktober 2024. ANTARA/Xinhua/Lyu Shuai


Di Hawthorn Town, sebuah taman pertanian dan resor pariwisata di Tongwei, fasilitas air termasuk waduk dibangun untuk mengalihkan air dari Sungai Taohe. Beberapa warga setempat dipekerjakan untuk memetik hawthorn selama musim panen tahun ini dan wisatawan dapat merasakan pengalaman memetik buah itu dan menikmati kehidupan pertanian.

Menurut Chang Haizeng, kepala perusahaan pengelola resor tersebut, resor itu telah membantu meningkatkan pendapatan lebih dari 1.300 rumah tangga dari empat desa di sekitarnya.

Zhang Yunxuan telah bekerja di resor tersebut selama lebih dari lima tahun sebagai buruh tani. "Saya bisa menghasilkan sekitar 4.000 yuan (1 yuan = Rp2.177) atau sekitar 562 dolar AS (1 dolar AS = Rp15.516) per bulan," kata warga desa berusia 53 tahun itu. "Saya bisa bekerja tak jauh dari rumah sembari mengurus keluarga saya."

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024