Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha berharap pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto lebih concern (perhatian) terhadap keamanan siber agar bisa sepenuhnya dalam penegakan hukum terkait dengan kebocoran data pribadi.
Hingga saat ini, kata Pratama, belum bisa sepenuhnya penegakan hukum karena belum adanya lembaga/komisi yang secara resmi menjalankan serta mengawasi hal-hal terkait dengan pelindungan data pribadi, termasuk menjatuhkan sanksi kepada institusi, baik pemerintah maupun swasta, yang menjadi korban kebocoran data.
"Concern terhadap keamanan siber dan pelindungan data pribadi tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu fokus utama pemerintahan Presiden Prabowo," kata Pratama yang juga Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC dalam percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Minggu malam.
Apalagi, lanjut Pratama, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tanggal 18 Oktober 2024 hingga sekarang belum bisa dilaksanakan sepenuhnya penegakan hukumnya karena belum adanya Lembaga/Komisi Penyelenggara Pelindungan Data Pribadi.
Sebelumnya, kata dia, Pemerintah telah memberikan waktu selama 2 tahun untuk pengendali data pribadi serta prosesor data pribadi dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan data pribadi untuk melakukan penyesuaian.
Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK menegaskan bahwa UU PDP sudah memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pribadi, serta memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran.
Namun, menurut Pratama, sampai saat ini turunan UU PDP yang seharusnya secara detail membahas sanksi yang dapat dijatuhkan tidak hanya kepada pihak swasta, tetapi juga kepada pihak pemerintah tidak ada perkembangannya.
Demikian pula dengan Lembaga/Komisi Penyelenggara Pelindungan Data Pribadi, lanjut dia, yang seharusnya sudah dibentuk oleh Presiden RI periode 2019—2024 Joko Widodo sebelum habis masa jabatannya, pun tidak kunjung terbentuk.
Bukti bahwa pemerintahan sebelumnya tidak memiliki concern atau tidak peduli terhadap urgensi pembentukan lembaga/komisi tersebut, kata dia, makin bertambah dengan adanya penyataan dari pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria pada hari Senin (14/10).
Wamenkominfo era pemerintahan Jokowi itu menyatakan bahwa kemungkinan lembaga/komisi tersebut masih membutuhkan masa transisi selama 6—12 bulan. Hal ini, menurut Pratama, seharusnya tidak perlu terjadi lagi jika memang Pemerintah merasa serius terhadap urgensi penegakan UU PDP.
Di lain pihak, dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini mengemukakan bahwa serangan siber yang beruntun dan bertubi-tubi sepertinya menunjukkan kurang pedulinya pemerintah terkait dengan isu keamanan siber.
Meskipun tidak ada kerugian secara finansial dengan terjadinya serangan siber, kata Pratama, reputasi serta nama baik negara Indonesia akan tercoreng di mata dunia. Bahkan, sudah banyak yang menyatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri open source yang datanya boleh dilihat oleh siapa saja dengan banyaknya peretasan yang terjadi selama ini.
Baca juga: Apa itu data pribadi dan kenapa harus dilindungi?
Baca juga: Jangan sembarangan bagikan data pribadi, ini yang boleh dan tidak
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024