Semarang (ANTARA News) - Bayi berusia 15 bulan yang masih tergolek di ruang ICU lantai dua RS dr Kariadi Semarang, bernama Ulung Hara Hutama. Kini kondisinya semakin membaik, meski sejumlah selang tampak melekat di lengan tangan dan kedua lubang hidungnya.
Putra kedua pasangan Lisa (28) dan Didik (38) itu telah melewati masa kritis pada minggu pertama setelah menjalani operasi cangkok atau transplantasi hati.
Sebenarnya bukan hal aneh bagi keluarga warga Puspowarno IV Nomor 30 Semarang itu, jika melihat anaknya selalu bersentuhan dengan obat dan opname, karena sejak tiga hari setelah lahir, Ulung sudah berurusan dengan dokter.
"Ulung lahir dalam keadaan sehat dengan berat badan 3,4 kg. Namun, baru menginjak tiga hari, kami menyadari ada yang aneh pada dirinya. Kulitnya kuning dan tinjanya berwarna putih," kata Didik di rumahnya, sesaat sebelum berangkat ke rumah sakit menengok anaknya.
Awalnya, keluhan itu tidak mendapat perhatian dari sejumlah dokter anak tempat ia berkonsultasi. Namun, setelah melewati pengobatan dan mengikuti saran untuk diajak berjemur sinar matahari tidak ada perubahan, keluarga mulai curiga.
Ulung kembali dibawa ke sejumlah rumah sakit untuk diopname, karena berat badannya mengalami penurunan. Diagnosis dokter menyebutkan bahwa ada gangguan hati setelah Ulung berusia dua bulan.
"Diagnosis itu semakin kuat, setelah saya menyampaikan keluhan bahwa tinja Ulung berwarna putih," kata Didik dengan mata berkaca-kaca sembari membuka album foto Ulung saat merayakan ulang tahun pertamanya di RS dr Kariadi Semarang.
Setelah ada hasil diagnosis, keluarga pun panik dan berharap Ulung segera mendapat pengobatan. Bahkan, sempat ada rencana Ulung dilarikan ke RS di Singapura, karena di Indonesia belum ada yang melakukan operasi cangkok hati.
Namun, saat masa mengurus paspor, keluarga mencari referensi dan konsultasi dengan dokter mengenai keinginannya membawa Ulung ke Singapura. Hingga akhirnya, pada bulan Februari RS dr Kariadi Semarang memutuskan dan menyarankan agar operasi dilakukan di Indonesia dengan menghadirkan dokter dari Singapura.
"Bukan hanya penurunan berat badan, kondisi Ulung juga lemas dan perkembangan tubuhnya terlambat dibanding bayi seusianya. Namun, setelah menjalani opname, berat badan Ulung dapat kembali stabil," katanya.
Transplantasi hati
Persiapan mengambil langkah transplantasi hati, kata Didik, akhirnya telah bulat. Pada Mei 2006, Direktur Program Transplantasi Hati dari National University Hospital (NUH) Singapura, Prof. Prabhakaran melihat kondisi Ulung dan anggota keluarga yang akan menjadi pendonor lever.
Prosesnya terhitung lama. Tiga bulan kemudian, pada Agustus, tim cangkok hati RS dr Kariadi melakukan negosiasi dengan Konsil Kedokteran Indonesia dan Departemen Kesehatan untuk dapat melakukan transplantasi hati di Indonesia.
Pada pertengahan Agustus, akhirnya disepakati operasi dapat dilaksanakan, sehingga tim cangkok hati pada September 2006 berangkat ke NUH Singapura untuk mengikuti dan belajar cangkok hati hingga dinyatakan siap pada pertengahan September 2006.
"Ternyata hati istri saya yang terbaik untuk Ulung. Saya tidak tega melihat jalannya operasi meski dapat disaksikan langsung melalui CCTV di aula Bagian Ilmu Bedah RS dr Kariadi," kata Didik.
Operasi cangkok hati pada 1 Oktober 2006 itu, dimulai pukul 08.15 WIB dan selesai pada pukul 20.00 WIB. Lisa sebagai pendonor dibawa ke ICU dan Ulung dibawa ke PICU.P.
Penanganan penderita "atresia bilaris" atau gangguan hati ini dilakukan dengan transplantasi donor hidup, yakni mengangkat hati yang sakit dan diganti dengan hati sehat milik donor.
Karena pasien masih balita, maka hati milik donor hanya diambil 25 persen. Dalam 25 persen hati itu, mempunyai saluran arteri, saluran vena, dan saluran empedu.
"Perkembangan pasien sesuai dengan yang diharapkan. Masa kritis pada minggu pertama setelah operasi sudah lewat, dan kini levernya sudah bekerja dengan baik," kata Prof. Prabhakaran, di RS Kariadi.
Kini Ulung menjadi bayi pertama di Indonesia yang sukses menjalani cangkok hati. Namun perjuangan Ulung dan kedua orangtuanya belum berhenti, karena menurut Prabhakaran, setelah operasi cangkok hati, sepanjang umur, Ulung harus mendapat pantauan secara medis.
"Karena dia akan mengonsumsi obat dan harus kontrol kesehatan tiap bulan, tiga bulan sekali, enam bulan, atau setahun sekali secara rutin," ujarnya.
Prabhakaran mengungkapkan, pasien yang pernah menjalani cangkok hati dapat menjalani kehidupan seperti manusia lainnya seperti beraktivitas, berolahraga, hingga menjalin hubungan rumah tangga.
Ia mencontohkan, kasus pasien cangkok hati hasil operasi sebuah RS di Singapura yang telah menikah, memiliki dua anak, berolahraga, sekolah dan bekerja seperti lainnya. (*)
Oleh Oleh Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2006