Jakarta (ANTARA) - "Kami telah mencontohkan bahwa kepemimpinan global tidak akan pernah bisa diraih melalui dominasi kekuatan serta ketakutan".
Demikian salah satu kalimat menohok yang disampaikan Retno Marsudi dalam pidato terakhirnya di Sidang Majelis Umum PBB sebagai Menteri Luar Negeri RI, akhir September lalu.
Lantas Retno menawarkan konsep “kepemimpinan tanpa hegemoni”, kepemimpinan dunia yang dilakukan dengan mendengarkan, mendorong kolaborasi, dan menumbuhkan harapan bangsa-bangsa di dunia.
Marilah menariknya ke konteks Indonesia di panggung dunia dalam 10 tahun terakhir ini.
Masih dalam suasana pandemi COVID-19, pada 2022 Indonesia mendapat giliran untuk posisi keketuaan G20. Menurut Retno, dalam peran ini Indonesia mampu “mencegah bubarnya G20, di tengah kubu geopolitik yang tajam.”
Ketika itu, invasi Rusia terhadap Ukraina baru saja dilancarkan. Momentum yang tentu tidak mudah bagi Indonesia saat harus memimpin 20 anggota ekonomi terbesar dunia.
Namun, berbagai testimoni menyatakan Indonesia mampu menjalankan tugas dengan mengesankan. Indonesia dianggap dapat menjembatani suara berbagai pihak, pun suara Indonesia tidak akan melukai pihak mana pun.
Dalam kerangka “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat”, Indonesia berfokus pada isu penguatan sistem multilateralisme dan kemitraan global. Situasi yang tak mudah menjadi pengingat bahwa tidak ada satu pun negara yang bisa bertahan sendirian.
Oleh karena itu, betapa menggembirakan hasil yang didapatkan dari pertemuan tingkat tinggi di Bali itu. Sebanyak 226 proyek multilateral menjadi output bernilai 238 miliar Dolar AS (setara Rp3.682 triliun).
Salah satu proyek yang mengemuka adalah Dana Pandemi (Pandemic Fund), inisiatif Indonesia berupa pengumpulan dana untuk penanganan pandemi yang mungkin muncul di masa depan.
Sejauh ini, Pandemic Fund sudah mengucurkan 885 juta dolar AS sebagai dana hibah. Tahap pertama pada 2023 sejumlah 338 juta dolar AS. Dan, menjelang akhir tahun ini, baru dikeluarkan lagi sebanyak total 547 juta Dolar AS.
Sebagian di antara jumlah dana tersebut digunakan untuk dukungan pendanaan bagi negara-negara yang terdampak cacar monyet.
Pengakuan dari New York membuat kepercayaan diri Indonesia bertambah besar. Wakil Tetap RI untuk PBB Arrmanatha Nasir mengonfirmasi adanya apresiasi dari pemimpin tertinggi organisasi multilateral itu.
”Kita berhasil menyatukan, menyelamatkan G20. Dan itu pun diakui oleh Sekretaris Jenderal PBB kepada saya di sini. Itu kan membutuhkan leadership kita. Bagaimana kita memainkan peran leadership tanpa harus memiliki power yang berlebihan,” kata dia.
Tentu saja agenda Indonesia yang mendorong multilateralisme tidak berhenti di G20, namun suaranya semakin kuat di forum PBB.
Indonesia bersama negara-negara anggota lainnya menyerukan reformasi PBB. Itu karena sistem multilateralisme saat ini dianggap sudah usang, tak sesuai lagi dengan kebutuhan dunia, khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Kontribusi negara Indonesia ini besar terhadap sistem multilateral, namun hak yang dimiliki justru tak sepadan.
“Contohnya, kita memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kita masuk ke G20, tapi suara kita di IMF dan World Bank sangat kecil. Hal-hal seperti ini yang menurut kami perlu direformasi,” ucap dia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024