Jakarta (ANTARA News) - Pemilih dalam Pilpres 2014 diminta tidak terfokus calon presiden dari latar belakang militer atau sipil, namun memilih capres dan cawapres yang memiliki sifat negarawan, cerdas, adil, dan memiliki orientasi ke depan.
"Sebaiknya tetap mengikuti hati nurani yang dimiliki pemilih dan jangan memilih karena calon presiden dari kalangan militer atau sipil," kata Jurnalis senior Zaim Uchrowi.
Justru yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing pemimpin menyiapkan diri untuk menjadi negarawan, kata Zaim Uchrowi dalam bedah buku "Belajar Merawat Indonesia. Presiden Negarawan" yang diterbitkan Dompet Dhuafa di Wisma Antara Jakarta, Rabu.
Dia melihat masing-masing calon presiden memiliki latar belakang serta kelebihan dan kekurangan. Zaim mencontohkan Prabowo, misalnya, dia yang seorang muslim berasal dari keluarga plural yaitu bapaknya seorang Muslim dan ibunya non-Muslim serta memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh Islam di Pulau Jawa.
Sementara Joko Widodo yang seorang muslim justru dinilai tidak terlalu dekat dengan tokoh Islam di Jawa, dan berasal dari keluarga homogen yang juga didukung oleh sejumlah purnawiaran militer.
"Jadi masing-masing capres memiliki kelebihan yang tentunya masyarakat bebas memilih negarawan dari latar belakang militer atau sipil," ucapnya.
Zaim yang juga Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN Antara mengatakan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sudah sangat berat yang tak mungkin dipikul pemimpin bangsa, tapi harus bersama dipikul oleh masyarakat Indonesia.
"Oleh karena itu, kita harus datang ke TPS untuk coblos suara sebagai bentuk tanggung jawab politik. Soal siapa yang menang dan kalah urusan lain," katanya.
Senada dengan Zaim, aktivis mahasiswa Hafidz Arfandi juga mengatakan sudah tidak saatnya lagi masyarakat berpikiran presiden Indonesia harus dipimpin oleh militer atau sipil, karena untuk pemimpin di negara yang begitu besar ini tidak bisa diserahkan pada latar belakang kedudukannya.
"Tentukan sendiri masing-masing pemilih apakah presiden yang akan dipilih dari kalangan militer atau sipil. Terpenting adalah bisa bekerja, memiliki intelektual serta merakyat," ujarnya.
Dalam buku setebal 258 halaman itu, Zaim mengatakan bahwa kondisi politik di Indonesia hampir sama dengan Filipina di tahun 1995-1995 dalam pemilihan presiden.
Saat tinggal di negara tetangga tersebut, dirinya sering tertawa mengenai kondisi di Filipina karena demokrasi di negara ini seringkali dijadikan "bancaan", sehingga masyarakat letih dengan kondisi dalam negeri.
"Tapi kondisi di Filipina tersebut sekarang ini justru dialami di Indonesia, di mana demokrasi juga seringkali dijadikan bancaan," tandasnya.
Dia pun sekali lagi mengajak bahwa masyarakat diminta untuk menilai sendiri calon presiden yang akan dipilih 9 Juli 2014 sesuai nurani dan memiliki takwa dan akhlak, cerdas, adil, serta berorientasi ke depan.
Buku yang ditulis oleh 47 penulis penerima Beasiswa Aktivis Nusantara (Bakti Nusa) Dompet Dhuafa menawarkan pelbagai sudut pandang yang dapat dijadikan bahan pertimbangan masyarakat mapun elite pemimpin dalam memilih capres dan cawapres bagi Indonesia kedepan.
Buku yang sebenarnya diterbitkan Oktober 2013 akan relevan dengan kondisi saat ini, terlebih kedua calon pemimpin bangsa sudah memaparkan visi misi, baik melalui kampanye, debat sehingga gagasan mereka dapat dikomparasikan dengan tulisan yang ada.
Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014