Keputusan dari masyarakat, masing-masing wilayah adatnya harus menjadi hutan adat. Jangan sampai ada ancaman yang merusak wilayah tersebut
Jakarta (ANTARA) - Julukan negeri 1.001 sungai pantas diberikan pada Kabupaten Sorong Selatan dengan sungai jernih dan air terjun indah berdiam di antara hutan-hutan hijau membentang luas. Sebuah harta yang ingin diwariskan Nikodemus Mondar kepada anak cucunya ke depan.
Nikodemus Mondar adalah Sekretaris Kampung Nakna, yang menjadi rumah bagi sub-suku Nakna dari suku besar Tehit yang berada di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Nikodemus bersama masyarakat di kampungnya kini tengah menunggu hutan yang berada di kawasan adatnya untuk ditetapkan menjadi hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Masyarakat sub-suku Nakna sendiri tinggal di wilayah hutan sedikit jauh dari pesisir, yang merupakan salah satu ciri dari suku besar Tehit yang lebih banyak memanfaatkan wilayah hutan dibandingkan laut. Hutan menjadi sumber pangan bagi mereka sekaligus lokasi beberapa situs penting termasuk mata air, tempat asal muasal, serta hutan keramat.
"Keputusan dari masyarakat, masing-masing wilayah adatnya harus menjadi hutan adat. Jangan sampai ada ancaman yang merusak wilayah tersebut. Mereka takut bila wilayah mereka dimasuki oleh perusahaan mana pun, (yang menyebabkan) anak cucu mereka ke depan hidupnya akan susah," ujar Nikodemus.
Ketakutan mereka akan ada izin yang keluar dan membuat perusahaan masuk ke wilayah hutan dan melakukan pembersihan lahan, termasuk untuk perkebunan sawit. Masuknya perusahaan ditakutkan akan menghancurkan hutan yang menjadi sumber kehidupan dan bagian dari identitas mereka.
Kesepakatan kemudian dicapai oleh masyarakat hukum adat yang mendiami Distrik Konda yaitu sub-suku Nakna, Gemna, Afsya, serta Suku Yaben untuk memulai proses untuk mendapatkan penetapan hutan adat, yang merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial dijalankan oleh KLHK.
Prosesnya tidaklah mudah. South Sorong Field Coordinator Konservasi Indonesia (KI) Raimer Helweldery, yang melakukan kegiatan pendampingan kepada sub-suku Nakna dan Gemna serta Suku Yaben, menjelaskan proses untuk mendapatkan surat keputusan hutan adat dimulai pada 2022 ditandai dengan deklarasi oleh perwakilan kampung-kampung di Distrik Konda pada 10 Mei 2022.
Masyarakat hukum adat di wilayah itu melakukan deklarasi di hadapan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan para pendamping dari organisasi seperti KI, memantapkan bahwa mereka ingin mengelola hutan adatnya.
Dimulai dari periode tersebut, kemudian dilakukan pemetaan partisipatif masyarakat hukum adat bersama KI untuk mendapatkan informasi secara komprehensif terkait tujuh komponen yang dibutuhkan untuk pengakuan keberadaan masyarakat adat. Yaitu sejarah, wilayah kelola adat, hukum adat, kelembagaan dan sistem pemerintah adat, harta kekayaan adat, sistem kepercayaan, dan keanekaragaman hayati.
Pemetaan kemudian dilakukan di tingkat sub-suku yang sudah tinggal terpisah di kampung berdasarkan mayoritas sub-suku tersebut.
Khusus untuk wilayah kelola adat, pihaknya menggunakan metode identifikasi tempat penting masyarakat adat dan memastikan titik koordinat, yang kemudian menjadi batas dari wilayah masing-masing.
Dari peta wilayah pengelolaan sumber daya alam tersebut kemudian para masyarakat hukum adat di wilayah Distrik Konda menyepakati batas wilayah masing-masing lewat proses rekonsiliasi dan verifikasi di lapangan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sorong Selatan. Proses rekonsiliasi antarmasyarakat hukum adat sendiri melibatkan hampir seribu orang yang dilakukan setelah proses pemetaan pada Juli 2023.
Mereka juga menyusun profil kampung dengan melakukan survei ke masyarakat adat, termasuk terkait potensi sosial ekonomi di kawasan itu. Studi sosial ekonomi yang dilakukan KI itu juga menjadi baseline atau dasar dalam pendampingan proses penetapan hutan adat di wilayah itu.
Selesainya pemetaan itu juga melengkapi beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk pengajuan penetapan hutan adat, yaitu data objek dalam bentuk peta wilayah adat dan data subjek yaitu profil masyarakat adat.
Komponen penting lain yaitu keberadaan regulasi lewat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Sorong Selatan dan Surat Keputusan (SK) tentang Pengakuan Perlindungan dan Penghormatan Hak Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat yang diberikan kepada tujuh kelompok marga, sub-suku dan persekutuan masyarakat hukum adat yang keluar pada Juni 2024.
Lewat SK tersebut maka terdapat pengakuan atas wilayah adat seluas 40.282,556 hektare, termasuk 4.960,828 untuk sub-suku Gemna, 4.674,579 hektare untuk sub-suku Nakna, 3.307,717 untuk sub-suku Afsya serta Yaben seluas 27.399,432 hektare.
Berbagai dokumen tersebut kemudian diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK. Pengajuan penetapan itu kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi yang dilakukan tim terpadu bentukan KLHK di Kabupaten Sorong Selatan pada 10-16 Oktober 2024.
Melihat proses itu, Raimer mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi adalah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat adat, yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada awal, mereka sempat menghadapi pintu-pintu rumah yang tertutup, menandakan belum adanya kepercayaan.
Seiring dengan berjalannya waktu dan sosialisasi yang dilakukan sebagai bagian dari proses free, prior, informed, consent (FPIC) untuk memberikan informasi lengkap mengenai tujuan kegiatan serta dukungan dari beberapa ketua adat, maka ditemukan konsensus untuk bergerak bersama memastikan kelestarian hutan dengan pengelolaan berkelanjutan oleh masyarakat adat.
Meski panjang, semua proses itu dilakukan untuk mewujudkan harapan bahwa anak-anak yang menjadi masa depan masyarakat adat, masih dapat menikmati hasil alam seperti nenek moyang mereka.
Pengelolaan masyarakat adat
Penetapan hutan adat lewat perhutanan sosial sendiri merupakan salah satu bentuk perbaikan tata kelola hutan Indonesia yang ingin dilakukan Pemerintah Indonesia. Bagi Pemerintah, hutan harus benar-benar memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, termasuk mereka yang masuk dalam kategori masyarakat hukum adat.
Kepala Sub Direktorat Penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak KLHK Yuli Prasetyo Nugroho mengatakan hutan adat memiliki sedikit perbedaan dengan skema perhutanan sosial lain karena mengeluarkannya dari status hutan negara dan berlaku selama masyarakat adat yang diberikan SK penetapan masih hidup dan tinggal di wilayah itu.
Penetapan hutan adat mengembalikan hak dan kedaulatan masyarakat adat untuk memastikan adanya ruang kelola untuk mereka. Terkait penetapan di Sorong Selatan, dia menyebut bahwa tim terpadu juga sudah melakukan sosialisasi mengenai ketentuan yang berlaku termasuk tidak dapat diubah fungsinya menjadi non-hutan.
Keputusannya muncul secara konsensus, dengan proses identifikasi tidak hanya dilakukan kepada kepala kampung atau ketua adat, tapi juga kelompok perempuan, pemuda, dan anak-anak yang selama ini mungkin tidak terlihat di ruang-ruang publik.
Proses verifikasi penting dilakukan untuk memastikan bahwa penetapan hutan adat itu memang diperlukan oleh masyarakat adat yang selama ini mengelola dan hidup dari hutan dengan kearifan lokal yang masih hidup sampai saat ini.
Menurut data KLHK, sampai dengan awal Agustus 2024, realisasi perhutanan sosial sudah mencapai 8,018 juta hektare bagi 1,4 juta kepala keluarga. Selain itu, telah ditetapkan hutan adat seluas 265.250 hektare dan yang sedang berproses penetapan seluas 836.141 hektare.
Meski sudah menjadi hutan adat, Pemerintah tetap akan melakukan pengawasan, terutama jika ada pihak eksternal ingin masuk, untuk memastikan proses pelindungan ekosistem tetap berjalan.
Langkah Pemerintah tersebut tidak hanya akan menjaga kelestarian hutan di Papua Barat Daya, tapi juga bakal meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di Sorong Selatan dengan cara-cara yang lestari.
Dengan demikian, bagi yang selama ini tinggal dan menjaga hutan, mereka tidak mewariskan air mata tapi memberikan mata air kehidupan yang terjaga untuk generasi mendatang.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024