Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia memprioritaskan pengadaan pesawat angkut dari Amerika Serikat (AS), sebagai tindaklanjut pemulihan hubungan militer antara kedua negara, pada November 2005. "Hingga saat ini, kita masih fokuskan pada pengadaan dan retrovit pesawat angkut Hercules baik untuk kepentingan angkut pasukan maupun tanggap darurat," kata Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono, ketika dikonfirmasi ANTARA News di Jakarta, Senin malam, menanggapi rencana kedatangan Presiden AS George W Bush ke Indonesia November mendatang. Ditemui usai berbuka puasa betsama di kediamannya, ia mengatakan, Indonesia telah mengambil langkah-langkah tindaklanjuut menyusul pencabutan embargo militer oleh AS pada akhir 2005, antara lain meretrovit sejumlah pesawat angkut Hercules dan pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dan F-5E Tiger. Tidak itu saja, Indonesai juga telah meminta AS untuk segera mengembalikan sejumlah suku cadang pesawat tempur yang masih tertahan di AS dan sejumlah negara lain seperti Inggris, Belgia, Selandia Baru dan Swiss. "Meski 70 persen, kita masih fokuskan pasa pesawat angkut. Tetapi kita juga tidak melupakan kepentingan kita untuk mengadakan pesawat temput pemukul seperti F-16," kata Juwono, menambahkan. Setelah merdeka, RI memang tak punya banyak pilihan selain menggunakan peralatan peninggalan kolonial. Peralatan Belanda masih mewarnai peralatan TNI pada dekade 1950-an. Barulah pada pertengahan kedua dekade ini muncul peralatan dari Uni Soviet dalam kerangka kampanye pembebasan Irian Barat. RI berpaling ke Uni Soviet setelah AS menolak permintaan senjata RI. Sikap ini mudah dimengerti karena AS tidak mau secara nyata membela negara yang memerangi sekutunya (Belanda) dalam NATO. Setelah Orde Baru, persenjataan Uni Soviet surut, RI pun lalu menerima pasokan peralatan dari negara-negara Barat. Meski masih ada PT-76 dari Uni Soviet, untuk tank RI sudah menerima AMX-13 dari Perancis dan Stuary dari Inggris pada tahun 1975. Pada tahun itu, untuk kendaraan lapis baja, RI juga sudah memiliki Saladin dan Ferret dari Inggris. Di laut, meski masih ada frigat kelas-Riga dari Soviet, TNI AL juga punya kelas-Jones dari AS. Sementara dalam matra udara, TNI AU sudah menerima CA-27 dari Australia dan F-51D dari AS. Paruh kedua dekade 1970-an juga ditandai dengan masuknya peralatan dari tak kurang enam pemasok, yakni AS-yang paling besar-di dalamnya termasuk F-5E/F Tiger II, OV-10 Bronco, lalu Australia (termasuk Nomad N-22), Belanda (F-27, frigat kelas-Fatahillah), Israel/AS (A-4 Skyhawk), Korea Selatan (kapal serang cepat tipe PSMM-5), dan Perancis (tank ringan AMX-13 dan rudal Exocet MM-38). Kecenderungan AS sebagai pemasok terbesar untuk peralatan RI terus berlanjut ke dekade 1980-an. Pada paruh pertama 1980-an muncul pemasok Eropa yang cukup signifikan, yakni Inggris dengan jet latih/serang Hawk Mk53 dan frigat kelas-Tribal, lalu Jerman dengan kapal selam tipe 209 dan patroli cepat PB-57. Akhirnya, aliran persenjataan Amerika yang masuk ke jajaran TNI adalah pesawat tempur F-16A/B Fighting Falcon pada tahun 1989. Setelah itu bisa dikatakan tidak ada lagi pasokan senjata utama dari AS. Menyusul peristiwa Dili, November 1991, penghentian pasokan dari AS seperti diformalkan. Semenjak itu, keinginan RI untuk mendapatkan tambahan jet, bahkan yang bekas pun, seperti F-5E dari Jordania, dan F-16A/B dari yang dibeli Pakistan, diganjal AS. Embargo AS dari satu sisi melumpuhkan, membuat 17 dari 24 armada Hercules TNI AU tak bisa terbang.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006