Kupang (ANTARA News) - Kementerian Pertanian menyiapkan tiga skenario untuk menghadapi El Nino yang diperkirakan terjadi pada Juli hingga Desember 2014 dengan menganjurkan petani untuk menanam varietas yang umurnya pendek agar cepat dipanen dan tidak terdahului kemarau panjang.

"Pilih varietas yang umur jenjangnya pendek, kalau perlu yang 90 hari panen, supaya nanti kalau kehabisan air itu ketolong, jangan yang umurnya empat bulan," kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan usai Pertemuan Nasional Hortikultura.

Dia mencontohkan, seperti varietas INPARI 19 yang jenjang umurnya 94 hari dan diminati petani.

Selain itu, katanya petani harus memanfaatkan embung, yakni cadangan air di pematang sawah untuk menampung air hujan.

Selain embung, lanjut dia, solusi kekurangan air juga bisa dilakukan dengan pompanisasi, yakni mengalirkan air dari sungai ke sawah.

"Itu untuk menyelamatkan tanaman padi kita yang membutuhkan air itu, terus kalau sudah waktunya panen jangan ditunda lagi," tandasnya.

BMKG sebelumnya memperkirakan El Nino lemah akan melanda Indonesia pada Juli dan Agustus 2014. El Nino mengakibatkan sumber air hidrogeologis berkurang dan mengganggu proses irigasi, selain itu juga berpotensi memicu kebakaran hutan, terutama pada lahan gambut seperti di Riau.

"BMKG mengabarkan El Nino mundur, mungkin baru Juli, tetapi kapan pun kita sudah punya SOP-nya (Standard Operational Procedure) untuk menjaga tingkat produksi jangan sampai turun," kata.

Rusman menyebutkan langkah lain menghadapi El Nino dengan membuat kalender tanam yang berbeda setiap kabupatennya.

"Kita berikan kalender itu kepada para petani, kapan petani mulai menanam dan menurut kalender tanam kabupaten masing-masing," ucapnya.

Dia mengaku sosialisasi kalender tanam itu telah dilakukan dua hingga tiga bulan yang lalu.

"Kalau petani enggak paham, berarti petugas penyuluh kita kurang mengampanyekan itu," tukasnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kupang juga sebelumnya mengingatkan para petani menghadapi El Nino dengan melakukan penghematan dalam menggunakan air dan pangan.

"Petani tidak perlu khawatirkan datangnya el nino secara berlebihan lalu lupa untuk melakukan antisipasi yang berhubungan dengan aktivitas seharian seperti menggunakan sumber daya air secara hemat termasuk dengan menyediakan cadangan pangan yang dipanen pada musim paceklik," kata Kepala Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang Juli Setiyanto.

Indikator adanya el nino katanya terlihat dari mulai terjadinya pemanasan di Pasifik yang terjadi di pertengahan tahun ini, sehingga jauh hari perlu diantasipasi para petani setempat seperti menyediakan cadangan pangan atau antisipasi lainnya dalam menghdapi el nino.

Ia mengatakan El Nino adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan naiknya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, sehingga kurang memungkinkan petani dan nelayan leluasa beraktivitas akibat cuaca yang tidak bersahabat.

Hal itu katanya mengakibatkan perubahan pola angin dan curah hujan sehingga akan terjadi kekeringan, gagal panen sampai kebakaran lahan.

Fenomena El-Nino
Analis di Kedeputian Klimatologi BMKG, Supari, M.Sc, mengatakan El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru).

Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim.

Dalam kondisi iklim normal, katanya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia (pasifik equator bagian barat) umumnya hangat dan karenanya proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk.

Namun ketika fenomena el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari biasanya).

Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia.

Dia mengatakan fenomena el-nino diamati dengan menganalisis data-data atmosfer dan kelautan yang terekam melalui weather buoy yaitu suatu alat perekam data atmosfer dan lautan yang bekerja otomatis dan ditempatkan di samudra.

Di Samudra Pasifik, katanya setidaknya saat ini terpasang lebih dari 50 buah buoy yang dipasang oleh lembaga penelitian atmosfer dan kelautan Amerika (National Oceanicand Atmospheric Administration-NOAA)sejak 1980-an katanya dengan alat-alat inilah kita mendapatkan data suhu permukaan laut sehingga bisa melakukan pemantauan terhadap kemunculan fenomena el-nino.

Fenomena el-nino bukanlah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba.

Proses perubahan suhu permukaaan laut yang biasanya dingin kemudian menghangat bisa memakan waktu dalam hitungan minggu hingga bulan.

Karena itu katanya pengamatan suhu permukaan laut juga bisa bermanfaat dalam pembuatan prediksi atau prakiraan akan terjadinya el-nino, karena kita bisa menganalisis perubahan suhu muka laut dari waktu ke waktu.

Di BMKG, pemantauan terhadap fenomena el-nino juga dilakukan dengan memanfaatkan data dari buoy-buoy tersebut. Pemantauan ini dilakukan dengan membuat peta perkembangan suhu lautan baik sebaran spasial (lintang-bujur) maupun irisan vertikal yaitu peta suhu laut untuk beberapa tingkat kedalaman. Produk-produk analisis ini tersedia di web resmi BMKG.

Dampak El-Nino
Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena el-nino, enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998.

Intensitas el-nino secara numerik ditentukan berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di samudra pasifik equator bagian tengah.

Jika menghangat lebih dari 1.5 oC, maka el-nino dikategorikan kuat.

Sebagian besar kejadian-kejadian el-nino itu, masih menurut Pusat prakiraan iklim Amerika mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau yaitu bulan Mei, Juni dan Juli.

El-nino tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 adalah dua kejadian el-nino terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara global.

Disebut berdampak global demikian Pusat prakiraan iklim Amerika itu karena pengaruhnya melanda banyak kawasan di dunia. Amerika dan Eropa misalnya, mengalami peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar.

Sedangkan Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang.

Di Indonesia, masih jelas dalam ingatan kita, pada 1997 terjadi bencana kekeringan yang luas.

Pada tahun itu, kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga.

Kebakaran hutan yang melanda banyak kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu, memang bukan disebabkan oleh fenomena el-nino secara langsung.

Namun kondisi udara kering dan sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat dan juga sulit dikendalikan.

Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanaman.

"Publikasi-publikasi ilmiah menunjukkan bahwa dampak el-nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa kuat jika terjadi bersamaan dengan musim kemarau, dan akan berkurang (atau bahkan tidak terasa) jika terjadi bersamaan dengan musim penghujan," tulis Pusat prakiraan iklim Amerika.

Dampak el-nino juga ternyata berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, bergantung pada karakteristik iklim lokal.

Oleh karena itu, menjadi menarik bagi para analis iklim untuk memperhatikan sebaran dampak el-nino dari bulan ke bulan (khususnya di musim kemarau) dan dari satu lokasi ke lokasi lain, berdasarkan catatan kejadian el-nino di masa lalu.

Analisis semacam ini bisa dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan terkait dampak elnino, misalnya saja dalam kebijakan tentang ketahanan pangan.

Belajar dari Masa Lalu
Pada 2014, fenomena el-nino diperkirakan kembali terjadi. Rilis terbaru dari Earth Institute - Columbia University, (salah satu rujukan dalam membuat prakiraan el-nino), menyebutkan bahwa peluang kejadian el-nino mencapai lebih dari 60 persen.

El-nino tahun ini diperkirakan akan terjadi hingga awal tahun depan namun intensitasnya masih menjadi perdebatan.

Sebagian memperkirakan el-nino lemah namun ada pula yang berpendapat akan terjadi el-nino sedang.

Untuk mengantisipasi dampak el-nino, perlu kiranya kita mempelajari bagaimana perlaku iklim ketika dulu fenomena el-nino terjadi.

Analisis terhadap kejadian-kejadian el-nino masa lalu dengan menggunakan data hujan global (produk dari Global Precipitation Climatology Center - GPCC) menunjukkan bahwa dampak el-nino juga dipengaruhi oleh intensitas (kuat-lemah) dan durasi berlangsungnya el-nino.

Semakin kuat dan lama el-nino terjadi, semakin kuat dampaknya terhadap iklim di Indonesia khususnya curah hujan.

Pada kasus el-nino dengan intensitas lemah-sedang, untuk bulan Juli - Agustus, el-nino akan berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40 - 80 persen (dibanding normalnya) terutama dirasakan di sebagian Sumatera, Jatim-Bali-NTB-NTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian Papua.

Sementara pada bulan September - Oktober, dampak el-nino akan semakin parah ditandai dengan semakin luasnya area yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku dan sebagian besar Papua.

Pada daerah NTB, NTT dan Sulawesi Tenggara bahkan curah hujan bisa berkurang hingga 20 - 40 persen dari normalnya.

Disebut daerah terdampak jika mengalami kondisi hujan di bawah normal saat el-nino terjadi. Kasus el-nino yang diperhitungkan adalah kejadian el-nino sejak tahun 1950. (Sumber data hujan:GPCC).

Sementara pada kejadian el-nino kuat, kejadian curah hujan di bawah normal melanda wilayah yang lebih luas.

Wilayah-wilayah yang tidak terdampak oleh el-nino lemah-sedang seperti Sumbar, Bengkulu dan Kalbar, akan terkena pengaruh el-nino kuat.

Di beberapa wilayah seperti Sumsel, Babel, Lampung, Jateng, Jatim, Bali-NTB-NTT, Kalsel, Sulsel, Sultra, Maluku dan sebagian Papua bahkan curah hujan hanya turun dalam kisaran 10-30 persen dibanding normalnya, terutama pada Bulan September dan Oktober.

Jelaslah kiranya, bahwa fenomena el-nino berpengaruh kuat terhadap iklim di Indonesia. Berkurangnya curah hujan dan terjadinya kemarau panjang adalah dampak langsung yang bisa memicu masalah lain pada sektor pertanian seperti gagal panen dan melemahnya ketahanan pangan.

Oleh karena itu, perlulah kiranya segera dibuat peta daerah rawan dampak el-nino hingga level kabupaten agar bisa disusun kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi fenomena el-nino. Ingat, tahun ini el-nino diperkirakan akan terjadi mulai bulan depan, Juli 2014.

***3***

(T.KR-HMB/B/Z003/Z003) 22-06-2014 20:14:48

Oleh Hironimus Bifel
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014