Jakarta (ANTARA) - Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengaku pihaknya menggandeng berbagai pihak dalam melakukan pengawasan ujaran kebencian dan misinformasi pada Pilkada Serentak 2024.
Kerja sama yang telah dilakukan termasuk untuk mempermudah masyarakat menilai kebenaran sebuah konten.
"Bawaslu sedang membangun kerja sama dengan cek fakta untuk mempermudah masyarakat dalam menilai kebenaran atas sebuah konten yang ada di media," kata Bagja dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan kerja sama itu dilakukan dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Mafindo, Koalisi Masyarakat Sipil, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), dan berbagai pihak lainnya.
Selain itu, kolaborasi dilakukan bersama dengan berbagai platform media sosial seperti Tiktok, Google, dan Meta.
Bawaslu juga membentuk tim pengawasan Siber yang bekerja sama dengan Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan berbagai pihak terkait lainnya.
Bagja berharap masyarakat semakin aktif dalam mencegah terjadinya ujaran kebencian.
"Kami kira dengan pola pengawasan dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan baik itu dari pemerintah, LSM, dan masyarakat dapat memitigasi kerawanan yang akan terjadi, misalnya, hoaks dan ujaran kebencian di media sosial," ucapnya.
Di lain sisi, Ia menjelaskan hasil pengawasan siber pada Pemilu 2024 lalu. Ujaran kebencian diidentifikasi menjadi jenis dugaan pelanggaran paling banyak yaitu 340 atau 96 persen.
Sementara itu, lanjut dia, pelanggaran berita bohong memiliki jumlah paling sedikit yaitu 5 atau sekitar 1 persen.
Baca juga: Pj. Gubernur Jatim ajak peserta Pilkada 2024 hindari ujaran kebencian
Baca juga: KPU dan Bawaslu DKI ingatkan soal Pilkada damai tanpa ujaran kebencian
"Salah satu rekomendasi hasil pengawasan siber pada Pemilu 2024 lalu yakni berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk segera men-takedown terhadap konten-konten yang telah teridentifikasi," jelas Bagja.
Peneliti Ika Idris mengungkapkan cara memitigasi potensi negatif dari ujaran kebencian melalui jurnalisme, yakni mengidentifikasi narasi kebencian dan stigmatisasi ke kelompok minoritas, menghindari menyalahkan korban.
"Jangan sampai korban menjadi sasaran dari pemberitaan yang dibuat. Dan yang paling penting, ketika ada narasi ujaran kebencian kita harus bertanya, siapa yang akan paling banyak mendapatkan keuntungan dari kampanye tersebut," tambah Ika.
Selanjutnya, cara memitigasi potensi negatif ujaran kebencian, yakni menggunakan strategi narasi tandingan, yaitu konten yang menghibur.
"Jika ujaran kebencian dibalas dengan ujaran kebencian, bisa (terjadi) bentrok. Strateginya menggunakan model konten menghibur," pungkas dia.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024