Salma sendiri sejak lama aktif sebagai bagian dari organisasi nirlaba yang fokus pada isu-isu perempuan. Pascabencana di Palu pada beberapa tahun lalu, ia turun ke lapangan untuk menyebarkan edukasi mengenai kekerasan berbasis gender.

Selama menyebarkan edukasi itu, ia secara tidak langsung ikut merasa tersiksa sebab dirinya merupakan salah satu dari penyintas sunat perempuan. Ketika mendengar istilah “sunat perempuan”, rasa malu juga ikut muncul ke permukaan.

“Saya jujur merasa tersiksa juga ketika sering mengisi acara di teman-teman mahasiswa, di kalangan penyintas-penyintas. Saya menyebutkan bahwa salah satu bentuk KBG itu sunat perempuan. Ketika mengatakan itu, hati kecil saya mengatakan, ‘Ya, saya salah satu penyintasnya yang sampai saat ini tidak pernah sampaikan ke orang lain’. Maka saya berpikir, ya, mungkin sudah waktunya (untuk speak up),” kata Salma.

Sebagian perempuan yang pernah mengalami sunat, kemungkinan besar tidak menyimpan memori trauma itu sebab praktiknya dilakukan bahkan sebelum usia satu tahun. Akan tetapi, sebagian perempuan lainnya memiliki memori tersebut seperti Salma yang menjalani sunat perempuan pada usia 5 tahun.

Bagi Salma, dirinya lebih merasa tersiksa apabila terus memilih diam dan menyembunyikan pengalaman yang traumatis akibat sunat perempuan. Kepada para penyintas lainnya, ia mengajak untuk berani speak up jika memang sikap diam itu justru menyiksa diri sendiri.

“Di balik speak up itu, ada hal yang terpenting, adalah kita berjuang untuk menolak atau menghapuskan sunat perempuan karena kita adalah aktor langsung yang sudah menjalani situasi itu,” ujar dia.

Apa yang dialami Salma dan penyintas lainnya menyisakan “lubang baru” yang selama ini luput dari aspek kebijakan. Penyintas yang mengalami dampak berkepanjangan hingga usia dewasa tidak memiliki wadah atau mekanisme untuk pelaporan dan pemulihan. Oleh sebab itu, Komnas Perempuan mendorong pemerintah untuk menyertakan tidak saja aspek pencegahan melainkan juga aspek penanganan dan pemulihan yang tercantum dalam peta jalan (roadmap).

“Kalau tidak dibarengi dengan penanganan ataupun pemulihan, kalau nanti misalnya terjadi gelombang pelaporan atau banyaknya perempuan yang kemudian menyadari bahwa terjadi sesuatu pada alat genitalianya itu bagaimana mereka harus mendapatkan penanganan, bagaimana dengan proses pemulihan yang harus dia dapatkan. Intinya dia tetap korban karena pada saat dia mengalami (sunat perempuan), dia posisinya sebagai anak itu juga korban,” terang Satyawanti.

Saat ini, KemenPPPA telah memiliki Roadmap dan Rencana Aksi Pencegahan P2GP 2020-2030. Kementerian mengakui adanya kekurangan pada peta jalan tersebut dan sepakat untuk merevisinya dengan memasukkan aspek penanganan dan pemulihan.

Revisi juga mencakup penambahan keterlibatan beberapa kementerian/lembaga. KemenPPPA memandang perlunya penguatan peta jalan lebih lanjut. Maka penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) dibutuhkan sehingga dapat lebih menguatkan peta jalan dan mengikat lintas-pemangku kepentingan.

Pelarangan praktik FGM sebenarnya telah disuarakan WHO sejak tahun 1997 bersama dengan United Nations Children's Fund (UNICEF) dan United Nations Population Fund (UNFPA). Assistant Representative UNFPA Indonesia Verania Andria mengatakan pihaknya mendorong penghapusan sunat perempuan di Indonesia.

UNFPA memandang bahwa praktik sunat perempuan atau P2GP dapat menghambat terwujudnya kesetaraan gender dan hak asasi manusia (HAM). Penghapusan sunat perempuan atau P2GP merupakan kunci yang bisa mendorong masyarakat untuk mencapai masa depan yang bebas diskriminasi dan stereotyping. Ini tentunya perlu didukung dengan kebijakan dan lingkungan yang kuat untuk menciptakan tujuan bersama.

Dengan peta jalan yang diperkuat, ditambah adanya regulasi pendukung lainnya, hal ini diharapkan semakin memperkuat komitmen Indonesia untuk menghapuskan praktik sunat perempuan.

Jika tercapai, maka Indonesia sejalan dengan seruan penghapusan FGM sepenuhnya tahun 2030 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengikuti semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Nomor 5 untuk mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024