Dokter spesialis obstetri dan ginekologi dr. Muhammad Fadli, Sp.O.G menjelaskan, klitoris merupakan bagian paling sensitif pada organ reproduksi perempuan bagian luar yang memiliki banyak saraf dan pembuluh darah. Apabila klirotis digores bahkan dipotong, maka risiko pendarahan juga meningkat.

“Kalau dilakukan pemotongan di daerah ini (bagian klitoris), maka ini akan mencetuskan banyak sekali masalah. Apalagi bagi mereka yang tidak mengetahui anatomi reproduksi perempuan,” kata Fadli.

Ia menyoroti praktik sunat pada perempuan yang tidak dilakukan tindakan pembiusan, sementara pada laki-laki dilakukan pembiusan terlebih dahulu. Tanpa adanya pembiusan, sunat perempuan akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat, apalagi jika dilakukan pemotongan klitoris.

Bagian klitoris sangat dekat dengan letak uretra atau saluran kemih. Apabila uretra ikut terpotong, maka akan menyebabkan rasa sakit pada saat buang air kecil. Selain itu, area kelamin perempuan umumnya lembab sehingga akan mudah terjadi infeksi jika tidak dilakukan pembersihan dengan benar.

Apabila penyembuhan luka pascapenyunatan tidak berjalan sempurna, kondisi ini berisiko menimbulkan jaringan parut fibrotik dengan dampak yang berkepanjangan. Dengan tumbuhnya jaringan parut di area tersebut, maka akan menimbulkan rasa sakit saat berhubungan seksual atau dispareunia.

Meskipun telah ditegaskan dari sisi medis, praktik sunat perempuan masih dihadapkan pada tantangan dari sisi perbedaan tafsir agama dan budaya atau tradisi adat yang masih kuat. Oleh sebab itu, penghapusan sunat perempuan perlu dilakukan langkah demi langkah yang bisa dimulai dari regulasi Kemenkes berupa pelarangan praktik tersebut pada tenaga medis.

Dari sisi agama, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sebenarnya telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan tidak dianjurkan untuk dilakukan. Majelis Tarjih juga dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukanlah bagian dari tuntunan agama, melainkan tradisi yang tidak didasarkan pada dalil agama yang jelas. Sunat perempuan dinilai membawa madharat atau kerugian yang besar kepada perempuan.

Menurut Muhammadiyah, landasan hukum sunat perempuan tidak dapat ditemukan dalam ajaran Islam yang autentik. Tidak ada satu pun hadis-hadis yang dianggap menyarankan sunat perempuan mencapai derajat sahih, bahkan kedudukannya dhaif atau lemah.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga telah menyatakan bahwa sunat perempuan tanpa alasan medis adalah haram. Menurut KUPI, pemotongan jaldah, yaitu selaput colum/preputium yang menutupi klitoris, yang diasumsikan sebagai cara yang aman pada sunat perempuan sejatinya mengandung bahaya atau dharar.

Para ulama yang tergabung di dalam KUPI bersepakat bahwa dharar harus dihilangkan atau dilarang. Dengan demikian, pemotongan jaldah dilarang karena adanya dharar.

Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa status hukum khitan perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam, serta makrumah yang pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hal ini tertuang Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008.

Menurut MUI, batas atau cara khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.

Perbedaan tafsir mengenai praktik sunat perempuan dari sisi agama ini pun menjadi tantangan tersendiri, apalagi mengingat mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim.

Adapun dari sisi adat, praktik sunat perempuan dapat dijumpai di beberapa suku di Indonesia seperti suku Pasemah di Sumatera Selatan dengan adanya upacara Bakayekan, suku Gorontalo dengan adat mandi lemon atau Mo Polihu Lo Limu dan adat Mongubingo, serta suku Bugis dengan tradisi Makkatte.

Praktik sunat perempuan di Indonesia kebanyakan dilakukan secara turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke generasi. Di samping faktor adanya aturan adat, orang tua dan lingkungan sekitar pun memainkan peranan yang paling kuat dalam menurunkan tradisi ini.

Maka sejatinya keluarga dapat menjadi tonggak penting untuk memutus mata rantai praktik sunat yang tidak membawa manfaat sama sekali bagi perempuan. Sebagaimana yang telah dilakukan Salma dalam keluarganya, ia memilih untuk tidak mewariskan adat tersebut, walaupun harus diupayakan secara perlahan.

 

Revisi peta jalan dan penguatan regulasi

Sejak Salma kecil, keluarga dan lingkungan sekitarnya telah terbiasa untuk melakukan praktik sunat pada anak perempuan. Salma mulai menyadari ada yang keliru dengan praktik tersebut ketika dirinya beranjak dewasa.

Setelah banyak bertanya dengan pemuka agama dan membaca sejumlah literatur, ia akhirnya bertemu pada satu kesimpulan bulat bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat sama sekali bahkan termasuk salah satu bentuk kekerasan berbasis gender (KBG).



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024