Adapun praktik sunat perempuan simbolis, menurut KemenPPPA, yaitu dapat berupa pemotongan kunyit secara simbolis tanpa terjadi perlukaan serta klitoris digores/ditoreh/ditusuk tanpa terjadi perlukaan.

Di Indonesia, sebenarnya telah disepakati penggunaan istilah “pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan” atau disingkat P2GP. Namun dalam perkembangannya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan adanya kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat mengenai penggunaan istilah antara “sunat perempuan” dan P2GP.

“Kami mendapati, ada pihak yang mengatakan bahwa ‘kami tidak melakukan P2GP, kami melakukan sunat perempuan’. Jadi dianggapnya bahwa P2GP ini bukan sunat perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti.

Pemaknaan yang tidak seragam mengenai penggunaan kedua istilah itu telah berlangsung sejak lama, semakin membuat upaya penghapusan praktik tersebut tersendat selama bertahun-tahun. Yang selalu menjadi pertanyaan mendasar di masyarakat, apakah P2GP sama dengan “sunat perempuan”?

 

“Sunat perempuan” vs P2GP

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang belum lama ini disahkan, telah menggunakan frasa “sunat perempuan” pada Pasal 102 huruf “a”. Pasal tersebut menegaskan sikap Pemerintah terhadap penghapusan praktik sunat perempuan.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti mengatakan, penggunaan istilah “sunat perempuan” di dalam PP No. 28 2024 sudah tepat.

Penggunaan istilah ini menjadi semakin jelas dengan disusunnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) yang menyatakan bahwa “sunat perempuan adalah tindakan pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan baik sebagian atau keseluruhan termasuk tindakan simbolis”. Definisi sunat perempuan tersebut sudah mencakup P2GP dalam arti pemotongan atau perlukaan, juga yang secara simbolis.

Senada dengan KemenPPPA, Satyawanti menilai penggunaan frasa “sunat perempuan” pada PP No. 28 Tahun 2024 sudah tepat. Sebab istilah “sunat perempuan” dinilai yang paling mewakili apa yang terjadi di dalam masyarakat. Istilah ini dapat mencakup praktik sunat baik yang dilakukan dengan perlukaan maupun tanpa perlukaan.

Selain mewakili kondisi masyarakat, penggunaan istilah “sunat perempuan” juga sejak lama diketahui masyarakat. Maka jika disimpulkan, sebetulnya istilah P2GP tidak berbeda jauh dengan “sunat perempuan”.

“Kami tidak ingin lagi bahwa P2GP dianggap bukan sunat perempuan. Itu jadi lebih sulit lagi untuk menghapusnya. Karena kalau kami nanti bilang ‘penghapusan P2GP’, ternyata praktik sunat perempuannya masih terjadi,” ujar Satyawanti.

P2GP atau sunat perempuan dengan perlukaan masuk dalam kategori kekerasan, bahkan bisa mengarah pada penyiksaan secara tidak langsung karena menimbulkan dampak jangka yang sangat panjang hingga perempuan mencapai usia dewasa.

Di sisi lain, sunat perempuan secara simbolis atau tanpa perlukaan menyiratkan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, motif yang mendasari praktik sunat perempuan yaitu bertujuan untuk menjadikan perempuan lebih patuh dan tidak melawan laki-laki, dalam hal ini suami ketika seorang perempuan telah menikah.

Dalam penelitian Komnas Perempuan di Gorontalo pada 2023, responden menyebutkan bahwa sunat dilakukan supaya perempuan tidak genit, tidak “nakal” berpindah ke laki-laki lain, tidak buas dan tidak sering keluar malam, serta tidak melawan suami.

KemenPPPA juga menyatakan P2GP sebagai bagian dari sunat perempuan tanpa alasan medis berdampak buruk dan berbahaya, meskipun secara simbolik, karena beberapa alasan.

Sunat perempuan, baik dilakukan secara mutilasi (menghilangkan bagian luar vagina secara keseluruhan), pemotongan, perlukaan, maupun simbolik, sama-sama mengandung anggapan negatif terhadap seksualitas perempuan yang diyakini harus dikendalikan melalui tindakan sunat, agar tidak melakukan penyimpangan secara moral.

Selain itu, cara pandang negatif atas seksualitas perempuan berdampak pada diskriminasi pada tubuh dan seksualitas perempuan dan keluarganya yang tidak bersedia maupun tidak mampu melakukan sunat perempuan. Sunat perempuan juga tentu mengakibatkan perempuan kesulitan memperoleh hak seksual dan kesehatan reproduksinya dengan baik.

Organ kelamin perempuan bersifat terbuka dan sensitif sehingga unsur-unsur yang terkandung dalam media sunat perempuan, meskipun dilakukan secara simbolis, akan dapat dengan mudah masuk ke dalam organ kelamin perempuan bagian dalam.

Secara medis, praktik sunat perempuan tidak membawa manfaat apa pun pada perempuan. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta organisasi profesi kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Sunat perempuan sebenarnya tidak pernah diajarkan di fakultas kedokteran mana pun. Berbeda dengan sunat pada laki-laki, praktik sunat perempuan bahkan tidak memiliki bentuk keseragaman.




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024