Jakarta (ANTARA) - Peringatan pemicu: Artikel ini memuat pengalaman penyintas sunat perempuan dan membicarakan tentang kekerasan berbasis gender (KBG) yang mungkin dapat memicu trauma pada sebagian orang
“Saya tidak ingin mewariskan kesakitan dan trauma itu kepada anak saya,” cerita Salma, penyintas berusia 44 tahun, yang pernah menjalani praktik sunat saat masih kanak-kanak.
Salma, yang lahir dan tumbuh di lingkungan adat yang kental di Sulawesi, harus melewati negosiasi yang alot dengan keluarganya. Ia tak ingin anak perempuan satu-satunya harus mengalami peristiwa yang sama seperti dirinya.
Prosesi adat itu tak pernah bisa ia lupakan meski hampir 4 dekade berlalu. Ia masih ingat saat sang ibu menggendongnya sambil memutari sumur hingga beberapa kali. Setelah itu, Salma kecil, yang mengenakan pakaian adat lengkap, dibawa masuk ke dalam kamar. Di sana, seorang dukun perempuan telah menantinya.
Salma juga masih mengingat rupa alat yang digunakan sang dukun untuk menyunat, sebuah pisau kecil yang terbuat dari bahan kuningan. Memori rasa sakit ketika menjalani sunat masih membekas. Salma, yang saat itu belum mengenyam bangku TK, mengalami pendarahan setelah disunat. Selama sekitar 4 hari pascasunat, ia kesulitan buang air kecil.
Yang ia tahu kala itu, ia tak boleh menolak adat yang secara turun-temurun diwariskan dalam keluarganya. Salma tidak pernah menceritakan trauma itu pada siapa pun. Hingga tiba hari ketika keluarganya meminta anak perempuan Salma untuk menjalani sunat.
“Di usia yang masih sangat kecil itu, (pengalaman sunat) terlupakan. Akan tetapi, ketika saya mendengar akan ada acara sunat, memori-memori tentang ketika saya dilakukan sunat itu langsung datang kembali, mengisi semua kepala saya bahwa sunat itu sangat menyakitkan,” cerita Salma.
Pada saat itu, ia mulai menceritakan traumanya kepada sang ibu yang kini menjadi nenek dari anak perempuan Salma. Sang ibu pada akhirnya bisa memahami rasa trauma itu.
Salma berharap penolakannya atas praktik sunat perempuan dapat diterima keluarga. Akan tetapi, suara penolakan tetap menjadi minoritas. Ia pun mengalah, namun tetap dengan catatan—ia tidak mengizinkan dukun untuk melukai dan menyentuh klitoris anaknya sedikit pun. Negosiasi pun disepakati.
Dalam adat itu, sunat baru dikatakan sah jika ada darah yang diteteskan. Maka sebagai gantinya, sunat dilakukan secara simbolis. Darah yang diteteskan diputuskan bukan berasal dari sayatan klitoris melainkan berasal dari seekor ayam betina berwarna hitam.
“Saya betul-betul, apa pun yang terjadi, saya tidak memberikan izin kepada ibu dukun untuk melakukan hal-hal yang menyentuh bagian vagina anak saya,” ujar Salma.
Meski harus mengalah pada ketentuan adat, bukan berarti Salma mendukung praktik sunat perempuan walaupun hanya dilakukan secara simbolis. Ia sepakat praktik sunat perempuan harus dihapuskan, baik yang dilakukan dengan menimbulkan perlukaan maupun tanpa perlukaan.
“Secara simbolis sebenarnya tidak perlu, sekalian saja semua dihilangkan. Selama kita masih mendukung--walaupun secara simbolis-- berarti kita masih mendukung sunat perempuan. Dengan kita mengaminkan, ‘Oh, tidak apa-apa tapi secara simbolis saja’, berarti kita masih mendukung,” kata dia.
Pengalaman yang diceritakan Salma relevan dengan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024 yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Secara nasional, tercatat sebanyak 46,3 persen perempuan usia 15--49 tahun di Indonesia pernah mengalami sunat.
Dari perempuan yang pernah disunat itu, praktik sunat secara simbolis mendominasi (58,6 persen) dibandingkan praktik sunat dengan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (41,4 persen). Ini menandakan bahwa sunat perempuan simbolis atau tanpa menimbulkan perlukaan lebih marak terjadi untuk kasus di Indonesia.
WHO telah mengemukakan, ada empat tipe female genital mutilation/cutting (FGM/C). Tipe pertama, pengangkatan sebagian atau keseluruhan bagian kelenjar (glans) klitoris dan/atau tudung klitoris. Tipe kedua, pengangkatan sebagian atau total dari kelenjar klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa pengangkatan labia mayora.
Kemudian tipe ketiga atau dikenal sebagai infibulasi, berupa penyempitan lubang vagina dengan membuat segel. Segel dibentuk dengan memotong dan memosisikan ulang labia minora atau labia mayora, terkadang melalui jahitan, dengan atau tanpa pengangkatan tudung klitoris dan kelenjar.
Terakhir yaitu tipe keempat yang termasuk semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, misalnya, menusuk, mengiris, mengikis, dan membakar area genital.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024