“Putusan pengadilan negeri ini yang aneh, membatalkan akta perdamaian, memerintahkan bahwa supaya Waskita Beton Precast ini untuk membayar utang. Berarti ‘kan mencampuri urusannya pengadilan niaga,”
Jakarta (ANTARA) - Tim kuasa hukum dari Yunadi & Associates melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim) ke Komisi Yudisial terkait polemik antara Badan Usaha Milik Negara, yakni PT Waskita Beton Precast Tbk dan Badan Usaha Milik Daerah, Bank DKI.

Advokat Fredrich Yunadi menjelaskan, pihaknya mewakili pemegang saham PT Waskita Beton Precast Tbk melaporkan majelis hakim PN Jaktim tersebut karena diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), yakni prinsip litispendentie, keberpihakan dalam persidangan, dan pengelolaan bukti yang tidak tepat.

“Putusan pengadilan negeri ini yang aneh, membatalkan akta perdamaian, memerintahkan bahwa supaya Waskita Beton Precast ini untuk membayar utang. Berarti ‘kan mencampuri urusannya pengadilan niaga,” kata Fredrich menjelaskan pokok perkara kliennya di Kantor KY, Jakarta, Kamis.

Adapun majelis hakim yang dilaporkan, antara lain, inisial C selaku ketua majelis, A dan S masing-masing selaku hakim anggota, serta satu orang panitera berinisial A.

Sengketa antara Waskita Beton Precast dan Bank DKI, terang Fredrich, sejatinya telah selesai di Pengadilan Niaga Jakarta terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan niaga memutus dengan jalan perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian Nomor 67 tanggal 30 Juni 2024.

Kemudian, pihak Bank DKI berusaha mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum melalui PN Jakarta Pusat (Jakpus). Namun, gugatan itu ditolak berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan negeri, sebab perkara itu sudah diputus oleh pengadilan niaga.

Usai gagal di PN Jakpus, Bank DKI mengajukan gugatan lain ke PN Jaktim.

“Nah, di sinilah yang kita curiga karena waktu masuk ke Jakarta Timur, seharusnya ‘kan ditolak seperti Jakarta Pusat karena peradilan umum ‘kan tidak boleh intervensi atau ikut campur dalam putusan peradilan niaga. Tapi, ternyata di sana itu mulus, diterima dengan alasan bahwa yang diproses itu adalah soal Akta Perdamaian Nomor 67,” tuturnya.

Dijelaskan pula oleh Fredrich, pihaknya merasa ada kejanggalan selama perkara bergulir di PN Jaktim.

“Waktu sidang itu, terjadi sesuatu hal yang mencurigakan, terlalu memihak. Seperti contoh tergugat itu di bentak-bentak. Kemudian, tergugat minta tunda sidang, tidak diizinkan. Kemudian, (Bank DKI) menggunakan saksi ahli, tetapi tidak ada daftar riwayat hidup,” ucapnya.

Atas dasar itu, Fredrich menduga, majelis hakim PN Jaktim telah melanggar prinsip litispendentie yang melarang tindakan hukum paralel, sementara hakim membiarkan adanya dua proses hukum atas perkara yang sama.

Selain itu, majelis hakim dimaksud juga diduga memiliki keberpihakan dalam persidangan karena cenderung memihak kepada Bank DKI selaku penggugat, serta diduga melakukan pengelolaan bukti yang tidak tepat karena mengizinkan pengajuan saksi ahli yang tidak memenuhi syarat.

Fredrich meminta kepada KY untuk memberikan perlindungan hukum bagi kliennya dan menyerukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran KEPPH oleh majelis hakim PN Jaktim yang terlibat dalam perkara ini.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024