Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat sebanyak 48,39 persen atau 4,2 juta keluarga dari 8,6 juta keluarga berisiko stunting (KRS) di Indonesia telah mendapat pendampingan hingga pertengahan tahun ini.

“Kami ingin mengingatkan kembali kepada pemerintah daerah, terkhusus tim percepatan penurunan stunting provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, bagaimana kita bisa terus meningkatkan cakupan pendampingan dari keluarga berisiko stunting, terutama pada provinsi yang capaiannya masih di bawah 50 persen,” kata Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN, Irma Ardiana dalam acara “Kelas TPK Hebat Seri IV” secara daring di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan hasil verifikasi, validasi dan pendataan keluarga semester I 2024, Provinsi Aceh menjadi daerah dengan cakupan pendampingan pada keluarga berisiko stunting yang tertinggi, yakni sebesar 79,76 persen.

Baca juga: BKKBN meluncurkan gerakan atasi stunting di Bekasi

Selain Aceh, empat provinsi dengan cakupan pendampingan tertinggi lainnya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 68,80 persen, Sulawesi Selatan 68,14 persen, Sulawesi Tenggara 62,46 persen, dan Bengkulu 62,22 persen.

Sedangkan lima provinsi dengan cakupan pendampingan terendah antara lain Papua Tengah dengan 15,70 persen, Kepulauan Riau dengan 17,21 persen, DKI Jakarta dengan 17,44 persen, Sulawesi Utara dengan 22,55 persen, dan Kalimantan Barat 22,59 persen.

Menurut catatan BKKBN, total jumlah tenaga lini lapangan di Indonesia tercatat sebanyak 559.070 personel yang terdiri atas tim pendamping keluarga (TPK), kader keluarga berencana (KB), kelompok pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), bidan, dokter, ahli gizi, perawat, dan lainnya.

Dengan adanya modalitas infrastruktur TPK dari sisi komposisi dan jumlah personel, Irma mengatakan bahwa hal ini menjadi modalitas yang besar dalam kegiatan pendampingan keluarga di lapangan.

Pemerintah sudah menetapkan empat kelompok sasaran pendampingan, antara lain calon pengantin atau calon pasangan usia subur, ibu hamil, ibu pasca-persalinan, dan balita usia 0-59 bulan. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi fokus pendampingan dari TPK.

“Apa saja bentuk pendampingannya, apakah bisa dalam bentuk edukasi. Kemudian, dalam bentuk fasilitasi rujukan, kalau memang KRS-nya ini memenuhi indikasi dirujuk. Selain itu, juga fasilitasi untuk bantuan sosial, kalau betul bahwa KRS-nya memenuhi kriteria untuk mendapatkan program-program bantuan sosial,” kata Irma.

Baca juga: Pencegahan stunting harus dipandang investasi jangka panjang

Baca juga: BKKBN sebut program PASTI terbukti turunkan stunting di empat provinsi


Sebagaimana yang diamanahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021, ia mengingatkan bahwa pendampingan keluarga berisiko stunting telah masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN). Selain itu, ada pendampingan calon pengantin atau calon pasangan usia subur yang masuk dalam RAN percepatan penurunan stunting.

Pemerintah telah menetapkan enam tujuan yang menjadi target dalam percepatan penurunan stunting, salah satunya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, serta meningkatkan akses air minum dan sanitas.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024