Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI Kurniasih Mufidayati mengaku optimistis Indonesia dapat terbebas dari kasus malaria pada tahun 2030, apabila pemerintahan baru serius menangani persoalan tersebut.
"Kita memang masih tertinggi (jumlah kasus malaria), karena wilayah luas dan jumlah penduduk tinggi. Namun, laju penurunan angka malaria terus terjadi. Artinya, kita harus optimistis bisa mencapai target Indonesia Bebas Malaria sebelum 2030," ujar Kurniasih dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Menkes: Perkuat surveilans dan komitmen global guna perangi malaria
Sementara itu, kata Kurniasih, Indonesia masih menduduki posisi kedua kasus malaria tertinggi di Asia setelah India. World Malaria Report 2023 mencatat bahwa 94 persen kematian akibat malaria di Asia terjadi di India dan Indonesia.
Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama secara intensif untuk mewujudkan target itu. "Kunci besarnya kerja sama intensif antara pemerintah pusat dan daerah, perbanyak surveilans, peningkatan deteksi dan kerja sama dengan elemen swasta, organisasi masyarakat untuk mempercepat eliminasi malaria di daerah," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa perlu penguatan surveilans serta kontribusi komunitas global guna memerangi penyakit-penyakit menular yang paling banyak di dunia, yakni malaria, TBC, dan HIV.
"Karena dengan surveilans, kita mengerti siapa yang membawa penyakitnya dan kita bisa mengobatinya, dan paling penting bisa mencegah mereka menyebarkan penyakit tersebut," kata Budi.
Budi menilai strategi terbaik untuk menyelesaikan malaria adalah dengan mencegahnya. Oleh karena itu, pihaknya menyediakan berbagai fasilitas untuk surveilans yang baik sebagai pencegahan malaria.
Baca juga: 44 kasus malaria ditemukan di Indragiri Hilir pasca-penetapan KLB
Baca juga: Kemenkes luncurkan "Tempo Kas Tuntas" percepat eliminasi malaria
"Alatnya sudah ada, tinggal kita disiplin untuk melakukan pengecekan," kata Budi.
Strategi kedua adalah mempercepat pengembangan vaksin malaria untuk Indonesia. Dia mengatakan, berbeda dengan COVID-19 yang vaksinnya selesai dalam 22 bulan, namun 22 tahun berlalu vaksin malaria tidak jadi-jadi. Hal itu karena malaria dianggap penyakit negara miskin, sehingga kurangnya dana menjadi masalah.
Oleh karena itu, kata dia, Indonesia ikut dalam sejumlah mekanisme pembiayaan global, seperti Global Fund dan Gavi guna mempercepat penyelesaian penyakit-penyakit menular tersebut. Adapun strategi ketiga, lanjut dia, adalah penyediaan obat malaria.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024