Jakarta (ANTARA) - Saat menjalani kuliah di Fakultas Keolahragaan Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, tidak pernah terlintas di pikiran Winarno untuk berkarier sebagai seorang pelatih paraatletik atau cabang olahraga atletik untuk kelompok dengan disabilitas.

Namun, ketika dirinya mendapatkan peluang untuk mengabdi di National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) Jawa Tengah pada tahun 2016, dirinya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Berbekal kemampuan berlari, karena dia pernah berkarier sebagai atlet lari, Winarno menatap profesi barunya dengan yakin.

Dan, ternyata, apa yang dilaluinya di NPC Jateng sesuai ekspektasi. Bagi Winarno, menangani taktik, fisik dan mental atlet dengan disabilitas selalu menjadi aktivitas yang menarik.

Di NPCI Jawa Tengah, pria berusia 30 tahun itu diberikan tanggung jawab untuk memoles kemampuan para atlet difabel di nomor lari jarak pendek yakni 100 meter, 200 meter dan 400 meter.

Sehari-hari, Winarno melatih atlet dengan beragam disabilitas seperti tunanetra, tunadaksa dan tunagrahita.

Tentu saja, hal itu tidak mudah dilakukan karena dirinya mesti melakukan penyesuaian-penyesuaian. Winarno tidak bisa menyamaratakan semua menu latihan kepada setiap pelari di NPCI Jawa Tengah.

Untuk atlet tunadaksa dengan cerebral palsy (CP), misalnya, Winarno dan timnya memberikan aktivitas latihan yang sering diulangi agar sang atlet dapat merekam gerakannya dengan baik. Latihan pun mesti beradaptasi dengan gerak atlet CP yang terbatas.

Kemudian, untuk atlet lari tunanetra, Winarno menetapkan menu latihan yang berbeda dan kegiatan itu wajib dilakukan dengan guide atau pemandu.

Atlet tunanetra khususnya yang menderita kebutaan total memang memerlukan tuntunan seorang guide saat menjalani lomba lari.

Tentu saja tidak gampang menunaikan pekerjaan tersebut. Untuk pelari tunanetra pemula, perlu berbulan-bulan sampai mereka dan para guide menemukan keharmonisan saat berlari.

Di luar sisi teknis, Winarno dan tim pelatih NPCI Jawa Tengah pun wajib untuk menjaga keamanan dan kesehatan atlet-atlet mereka.

Belum lagi jika suasana hati (mood) atlet berubah, Winarno harus pandai melakukan pendekatan dan bijak memilih kata supaya motivasi anak-anak asuhnya naik kembali.

"Ketika motivasi terbangun, tekad atlet untuk berprestasi semakin kuat," ujar dia.

Winarno mengaku sangat senang dengan pekerjaannya. Untuk itu, dia menekuninya dengan serius. Berbagai pelatihan terkait atlet disabilitas diikutinya supaya pengetahuannya senantiasa berkembang.

Hasilnya, Winarno setidak-tidaknya sudah 15 atlet lari Jawa Tengah yang diantarnya hingga ke tingkat nasional.

Salah satu di antaranya adalah atlet tunanetra Muhammad Dimas Ubaidillah yang berada di bawah gemblengan Winarno sejak tahun 2018.

Dimas, yang masih berumur 21 tahun dengan klasifikasi paraatletik T11 atau buta total, sukses merebut medali emas di Asian Youth Para Games 2021 di Bahrain, emas di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2021, medali perak dan perunggu di ASEAN Para Games 2022 serta dua perak dan satu perunggu di ASEAN Para Games 2023.

Terkini, di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2024, Solo, Dimas merebut dua medali emas dari nomor lari estafet 4x100 T11-T13 putra.

Selain Dimas, ada pula Maria Vitasari, atlet lari CP putri yang baru berusia 15 tahun tetapi mampu menggondol medali emas nomor lari 100 meter T37-38 putri di Peparnas 2024.

"Saya bangga melihat teman-teman atlet sukses. Saya berharap masa depan mereka lebih cerah lagi di masa depan," kata Winarno.

  Insting

Bukan hanya mengasah potensi, pelatih juga berperan sebagai pencari atlet berbakat untuk dibina lebih lanjut di NPCI.

David Halomoan Sihaloho, yang nyaris 10 tahun menjadi pelatih judo tunanetra di NPCI Riau, menyampaikan bahwa dirinya harus berkeliling wilayah demi calon-calon atlet disabilitas.

Salah satu atlet yang menarik perhatiannya adalah Amiyah, ibu rumah tangga yang menderita penglihatan lemah (low vision).

David kemudian mengarahkannya ke judo tunanetra. Ternyata, Amiyah memiliki kekuatan dan konsentrasi yang memadai untuk menjadi seorang judoka.

"Dia terus berlatih dan kemampuannya berkembang. Terbukti dia berhasil seperti sekarang," tutur David.

Di Peparnas 2021 Papua, yang menjadi Peparnas perdananya, Amiyah menggondol medali emas di nomor kelas -43 kilogram J2 putri. J2 merupakan klasifikasi untuk atlet dengan penglihatan sangat terbatas.

Sementara di Peparnas 2024, Amiyah kembali merebut medali emas, kali ini di nomor -48 kilogram J2 putri.

Perempuan berusia 37 tahun itu pun menjadi satu-satunya judoka Riau yang menorehkan emas di Peparnas 2024.

David menyampaikan, prestasi Amiyah digapai dengan latihan berat yang benar-benar menguras keringat.

Pada dasarnya, dia menambahkan, tenik judo yang diajarkan kepada atlet tunanetra sama dengan teknik judo pada umumnya.

Yang membedakan yakni kepekaan terhadap sentuhan. Atlet tunanetra dengan low vision atau buta total mesti sensitif dengan kontak fisiknya dengan lawan.

Begitu menyentuh tubuh musuh, seorang atlet tunanetra mesti berpikir dengan cepat bagaimana menggerakkan tangan dan kakinya untuk "melumpuhkan" lawannya itu.

Gerakan latihan itu pun mesti dilatih secara terus menerus demi membentuk memori otot yang dapat mengingat gerakan menyerang dan bertahan dengan fasih.

"Pola latihan atlet judo tunanetra itu bermula dari teknik meraba dan menyentuh musuh, kemudian dilanjutkan dengan pemindahan kaki dan tangan," ujar David.

Laki-laki yang sempat menjadi atlet judo dan membela Riau di Pekan Olahraga Nasional (PON) itu mengaku salut dengan perjuangan atlet difabel mulai dari latihan hingga pertandingan.

Dia menyebut, atlet dengan disabilitas mempunyai semangat yang sangat menggebu karena menganggap olahraga sebagai jalan untuk memperbaiki hidup.

Sebab, sebelum terjun ke dunia olahraga, banyak atlet difabel yang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Mereka kerap diremehkan dan dipandang tidak memiliki masa depan.

Dengan menjadi atlet, orang-orang dengan disabilitas menemukan wadah untuk menunjukkan kemampuan sejatinya dan membalikkan pandangan negatif dari banyak pihak.

"Olahraga menaikkan status sosial mereka. Apalagi kalau berhasil menjadi juara, atlet menerima bonus yang dapat membantu kehidupan mereka," tutur David.

Jasa Winarno, David dan setiap pelatih atlet disabilitas di Indonesia sangat besar dalam memajukan olahraga disabilitas di Indonesia.

Meski bekerja dalam sunyi, jauh dari perhatian publik, mereka tetap mencurahkan pikiran, kemampuan dan waktunya secara total supaya atlet-atlet difabel dapat mengharumkan nama Indonesia di setiap kesempatan.

Walau mungkin tidak diingat, nama mereka terukir abadi di setiap medali, prestasi dan apresiasi yang diraih oleh atlet dengan disabilitas.

Baca juga: BNPT: Peparnas 2024 berjalan aman berkat partisipasi seluruh pihak

Baca juga: Peparnas bukti inklusivitas olahraga untuk semua orang

Baca juga: NPCI haru Jokowi purnatugas dan berani hapus diskriminasi difabel


Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024