Konversi boleh, tetapi dengan syarat yang sangat sangat sulit. Kalau dilanggar, sanksinya berat.

Jakarta (ANTARA) - Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan bahwa pemerintahan mendatang harus dapat mengendalikan alih fungsi (konversi) lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian jika ingin mewujudkan swasembada pangan.

Khudori mengatakan pemerintah harus memperkuat regulasi yang melindungi lahan sawah dari alih fungsi.

“Pak Prabowo bisa atau tidak harus mempertahankan lahan sawah ini. Bagaimana caranya regulasi-regulasi yang memproteksi lahan pertanian supaya tidak dikonversi, itu kembalikan,” kata Khudori saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Khudori menyebut sebetulnya selama ini Indonesia telah memiliki dua undang-undang yang secara tegas mengatur perlindungan lahan pertanian, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.

Kedua undang-undang ini, kata dia, secara tegas membatasi konversi lahan pertanian, terutama lahan sawah yang dilengkapi irigasi.

Namun, kata Khudori lagi, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, sejumlah aturan yang melindungi lahan pertanian dinilai telah dilonggarkan. Hal ini dikhawatirkan akan semakin mempercepat laju konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian.

“Konversi boleh, tetapi dengan syarat yang sangat sangat sulit. Kalau dilanggar, sanksinya berat,” ujar dia.

Khudori mengatakan bahwa proteksi lahan pertanian pangan harus dilakukan, mengingat produksi beras nasional yang cenderung turun dalam lima tahun terakhir.

Selain gagal panen akibat serangan hama dan penyakit serta bencana alam akibat perubahan iklim termasuk fenomena El Nino, penurunan produksi beras juga diakibatkan oleh makin berkurangnya lahan pertanian pangan khususnya pangan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional turun dari 31,42 juta ton pada 2018 menjadi 31,31 juta ton pada 2019.

Produksi beras pada 2020 yang mencapai 31,36 juta ton, turun lagi menjadi 31,33 juta ton pada 2021. Meski naik menjadi 31,54 juta ton pada 2022, produksi beras RI pada 2023 kembali turun menjadi 31,10 juta ton.

Merujuk data dari Kementerian Pertanian pada 2020, selama kurun waktu lima tahun (2015-2019), terdapat pengurangan luas lahan sawah pertanian dari 8,09 juta hektare pada 2015, menjadi 7,46 hektare pada 2019.

Sementara itu, menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2022, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hingga 150.000 hektare per tahun.

Swasembada pangan menjadi salah satu misi dalam program Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Beberapa program kerja yang akan dilakukan untuk mencapai swasembada pangan, di antaranya menjalankan agenda Reformasi Agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam arti luas, sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan.

Kemudian, merevitalisasi dan membangun sebagian besar hutan rusak dan tidak termanfaatkan menjadi lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum, kelapa, dan bahan baku bioetanol lainnya dengan sistem tumpang sari, untuk mendukung pencapaian kedaulatan energi nasional dan menciptakan jutaan lapangan kerja baru.

Selain itu, meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan sarana prasarana pendukung pertanian rakyat, teknologi pangan terpadu, mekanisasi pertanian, inovasi digital (digital farming), dan memperbaiki tata kelola rantai nilai hasil pertanian.
Baca juga: Mentan target swasembada pangan dalam tiga tahun lewat petani muda
Baca juga: Indef sebut ekstensifikasi lahan wajib demi mencapai swasembada pangan

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024