Bogor, (ANTARA News) - Dua peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, (FPIK) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Institut Pertanian Bogor (IPB) yakni Dr Ir Bambang Widigdo dan Dr Ir Kadarwan Soewardim, berhasil menemukan teknologi untuk mengatasi rusaknya hutan bakau (mangrove), yang dikenal dengan teknologi "Biocrete". Teknologi itu, adalah berupa pengembangan tambak di lahan pasir, dan inovasi penelitian itu lahir dari keprihatinan akan ancaman rusaknya hutan mangrove di sekitar tambak udang. Menurut Bambang Widigdo di Bogor, Minggu (8/10 pada kurun watu tahun 1987-1988, ketika produksi udang semakin meningkat, seiring dengan itu juga terjadi penyempitan hutan mangrove karena digunakan untuk tambak udang. Berangkat dari perspektif kehawatiran itu, maka ia berusaha mencari alternatif teknologi yang tidak menggunakan lahan mangrove, tapi tetap bisa menghasilkan udang seperti di lahan mengrove. Kemudian, bersama Dr Kadarwan Soewardi --yang juga menjabat Dekan FPIK IPB--mereka terdorong melakukan penelitian yang kemudian diberi judul "Teknologi Biocrete Memungkinkan Mengembangkan Tambak Udang di Lahan Pasir". "Hasil penelitian kami itu kemudian meraih Penghargaan Terbaik Nasional Bidang Kreasi Teknologi Unggulan 2006, yang diadakan Departemen Perindustrian Republik Indonesia," katanya. Ia menjelaskan, secara prinsipm, penemuan tersebut berhubungan dengan metoda untuk membangun kolam budidaya dengan media air, akan tetapi dengan menggunakan teknologi Biocrete. Dijelaskannya bahwa jenis temuan tersebut sangat berbeda dengan metoda pada umumnya yang mengunakan tanah liat sebagai lapisan dinding kolam untuk menghindari kebocoran air. Perbedaan yang sangat dominan, diantaranya, dinding kolam bukan dilapisi dengan batako atau batu bata namun menggunakan campuran plastik, anyaman bambu, ijuk dan semen. Sedangkan untuk dasar kolam menggunakan media plastik, serta metode pembuangan limbah yang lubang pembuangnya berada di atas permukaan tanah, sehingga mempermudah pemanenan. Ia mengemukakan bahwa dasar kolam dengan media plastik ini bertujuan agar dapat menghindari kerugian akibat terkumpulnya lapisan lumpur pada permukaan dasar kolam yang menciptakan media pembiakan virus dan gangguan lain yang merusak budidaya udang," katanya. Menurut dia, ada beberapa keunggulan dengan menggunakan teknologi Biocrete ini, diantaranya, dapat memanfaatkan 80 persen luas efektif kawasan untuk petak tambak, sedang tambak tanah maksimum hanya 60 persen. Untuk masa satu tahun, dapat menghasilkan tiga musim tanam (MT), sedang tambak tanah maksimum dua MT/tahun, dan produktivitas lahan bisa lebih tinggi dari tambak tanah. Tambak biocrete dapat mencapai 7-8 ton/ha udang windu, sedang tambak tanah 5-6 ton/ha. Dijelaskan pula bahwa persiapan jauh lebih pendek, yakni maksimal seminggu, dan lebih murah, sedangkan pada tambak tanah bisa tiga bulan sehingga perawatan lebih mudah dan efisien, disamping udang hasil panen lebih bersih dan kualitasnya menjadi lebih baik. Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan teknologi Biocrete dasar tambak dapat terjaga dalam keadaan bersih dan nyaman untuk udang hidup. Sementara dari segi sanitasi, tambak Biocrete lebih steril dari tambak tanah, karena jika dijemur tambak pasir dapat mencapai suhu 80-90 derajat celcius sehingga jika dijemur selama tiga sampai sempat hari, semua bakteri pathogen yang dapat menyebabkan penyakit akan mati. Bakteri itu, diantaranya adalah "Vibrio parachemotilicus", "v.vularificus", "salmonela" dan lainnya. Bahkan, juga tahan gempa. Ditambahkannya bahwa inovasi hasil penelitiannya itu juga telah didaftarkan patennya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM dengan nomor ID 0 009 839, sedangkan pengusul jenis invensinya tersebut adalah Kantor Hak Kekayaan Intelektual IPB (HKI) IPB). Kini, hasil penemuannya itu telah dimanfaatkan oleh beberapa kalangan, diantaranya Balai Penelitian Perikanan Pantai Situbondo (Jatim), Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi, PT Triasta Citarate, Desa Gunung Batu, Sukabumi (Jabar) dan Djayanti Group di Pulau Seram dan Maluku, dan Propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD), demikian Bambang Widigdo.(*)
Copyright © ANTARA 2006