Jokowi-Jusuf Kalla bisa kalah kalau tidak melakukan apa-apa...."

Kupang (ANTARA News) - Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla kini sedang bersaing ketat untuk meraih simpati dan dukungan pemilih guna memenangi pemilu presiden pada 9 Juli mendatang.

Sejumlah lembaga survei memprediksi bahwa sisa waktu dua pekan lagi bagi kedua pasangan capres-cawapres harus dioptimalkan untuk meraih kemenangan, dan penentu kemenangan keduanya diperkirakan berada di tangan massa mengambang yang jumlahnya mencapai 13,5 persen dari sekitar 180 juta total pemilih yang terdaftar dalam DPT Pilpres 2014.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari memprediksi nantinya akan ada tiga skenario yang mungkin terjadi. Pertama, suara massa mengambang semua memilih Jokowi-JK maka pemilu presiden akan dimenangi Jokowi-JK. Kedua, jika massa mengambang memilih Prabowo-Hatta, maka pemilu presiden akan menjadi milik pasangan nomor urut satu itu.

"Tetapi, kalau suara yang belum memutuskan pilihannya ini terbagi rata kepada dua pasangan, maka Jokowi-JK yang akan menang," kata Qodari dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (17/6).

Berdasarkan survei yang dilakukan Indo Barometer pada 28 Mei-4 Juni 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dengan elektabilitas 49,9 persen. Sedangkan elektabilitas Prabowo-Hatta mencapai 36,5 persen. Sebanyak 13,5 persen belum memberikan jawaban akan pilihan pasangan capres dan cawapres.

Jika jumlah pemilih mengambang itu memilih Jokowi-JK, maka tingkat dukungan pasangan nomor urut dua itu tak akan terkalahkan karena elektabilitasnya mencapai 64,4 persen.

Sementara jika massa mengambang ini menyatakan dukungan kepada Prabowo-Hatta, maka suara dukungan yang diperoleh pasangan ini diprediksi menang tipis atas Jokowi-JK yakni 50 persen.

Namun, jika suara massa mengambang terbagi rata kepada dua pasangan calon, maka tingkat dukungan Prabowo-Hatta mencapai 43,25 persen dan Jokowi-JK 56,65 persen.

"Prabowo-Hatta hanya bisa menang jika mereka merebut semua pemilih yang belum memutuskan. Bila perlu, mereka merebut simpati pemilih Jokowi-JK. Potensi dan peluang itu ada," ucap Qodari.

Hal ini (penentu kemenangan) juga dibenarkan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin yang mengatakan peta dukungan terhadap Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK masih berimbang dan cenderung meluas yang berasal dari "swing voter" (yang masih ragu-ragu menentukan pilihan).

"Saya lihat dukungan yang mengalir kepada Prabowo-Hatta semakin hari cenderung meluas. Hal yang hampir sama terjadi pula pada pasangan Jokowi-JK," kata Said Salahudin di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, dukungan kepada kedua pasangan itu boleh jadi berasal dari swing voter. Terutama setelah memasuki masa kampanye, terlebih lagi pascapelaksanaan debat kedua, pemilih yang sebelumnya masih bingung untuk menentukan sikap kelihatannya berangsur mulai menyatakan dukungan kepada masing-masing pasangan calon.

"Dalam perspektif partisipasi pemilih, hal ini tentu bermakna positif. Saya lihat peta dukungan terhadap keduanya saat ini juga masih sangat berimbang," katanya.

Sebelumnya, berdasarkan temuan LSN, elektabilitas pasangan Jokowi-JK mulai tersendat. Dibandingkan dengan masa sebelum Pileg 2014, tingkat keterpilihan Jokowi cenderung mandeg. Pasangan Prabowo-Hatta justru memperlihatkan kinerja yang semakin membaik.

"Ketika LSN menanyakan kepada responden, pasangan mana yang akan dipilih jika Pilpres dilaksanakan hari ini (saat survei dilakukan awal Juni 2014), sebanyak 46,3 persen mengaku akan memilih Prabowo-Hatta. Dan hanya 38,8 persen yang mengaku akan memilih pasangan Jokowi-JK dan sebanyak 14,9 persen menyatakan belum punya pilihan," kata dia.

Ia mengutarakan hasil survei dilaksanakan sejak 1 sampai dengan 8 Juni 2014. Survei dilakukan di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Populasi dari survei ini adalah seluruh penduduk Indonesia yang sudah memiliki hak pilih dan tercantum dalam DPT.

Jumlah sampel sebanyak 1.070 responden yang diperoleh melalui teknik pengambilan sampel secara rambang berjenjang (multistage random sampling). Margin of error sebesar 3 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dengan responden berpedoman kuosioner. Survei ini dilengkapi dengan analisis media dan wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber.

Ia mengatakan meredupnya elektabilitas Jokowi-JK terjadi hampir di semua daerah "battle-ground", yaitu sembilan provinsi yang memiliki jumlah pemilih besar. Pasangan Jokowi-JK hanya unggul dari Prabowo-Hatta di Provinsi Jawa Tengah.

"Di daerah yang selama ini dikenal menjadi pangsa pasar tradisional dari PDI Perjuangan tersebut elektabilitas Jokowi-JK sebesar 47,5 persen dan Prabowo-Hatta 43,3 persen sementara yang belum menyatakan pilihan sebesar 9,2 persen," katanya.


Tidak Pesimistis

Menanggapi hasil survei itu anggota tim pemenangan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indra Piliang, mengatakan, menurunnya elektabilitas pasangan tersebut terutama di DKI Jakarta dan Jawa Barat tidak lantas membuat mereka pesimistis. Justru, kata Indra, hal tersebut menjadi lecutan untuk terus mendekatkan diri pada konstituen.

"Di berbagai media disebutkan bahwa elektabilitas kami kalah di Jakarta dan Jawa Barat. Tentu ini lecutan bagi kami untuk kerja keras demi memenangkan pilpres di seluruh wilayah Indonesia," ujar Indra dalam siaran pers yang diterima, Rabu (18/6/2014).

Indra menganggap menurunnya elektabilitas Jokowi-JK akibat kampanye hitam yang memengaruhi sikap swing voters atau pemilih mengambang, terutama masyarakat tingkat bawah, yang kurang memiliki kesadaran untuk menyaring pemberitaan. Apalagi, setelah kemunculan tabloid "Obor Rakyat" yang sarat unsur SARA terkait capres nomor urut dua itu.

"Mereka mungkin menelan semua informasi tanpa mencari kebenarannya. Itu tantangan kami untuk mengajak mereka menolak semua bentuk kampanye hitam," kata Indra menegaskan.

Oleh karena itu, dia mengimbau penyelenggara pemilu dan peserta pemilu, termasuk kubu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, untuk menangkis tindakan yang mengarah ke penyebaran fitnah dan kampanye hitam.

Indra juga mengajak seluruh pihak terkait agar turun bersama menangkis segala tindak kampanye hitam untuk mewujudkan persaingan yang bersih dan sehat. Ia meyakini, kampanye hitam juga dapat ditepis dengan membangun kepercayaan konstituen terhadap kinerja calon pemimpinnya kelak.


Dongkrak Elektabilitas

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla bisa kalah dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2014 apabila tidak berjuang mendongkrak elektabilitasnya yang terus menurun sementara elektabilitas lawannya, Prabowo dan Hatta Rajasa semakin meningkat.

"Jokowi-Jusuf Kalla bisa kalah kalau tidak melakukan apa-apa. Dari hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Maret sampai awal Juni, elektabilitas Jokowi menurun sedangkan Prabowo justru meningkat," kata Burhanuddin yang juga menjabat Direktur Eksekutif Indikator politik Indonesia itu dalam Seminar Nasional "Memilih Presiden yang Pro Kelestarian Lingkungan dan HAM", di Jakarta, Rabu, (18/6).

Menurut Burhanuddin, untuk mendongkrak tren elektabilitas yang menurun jauh lebih sulit ketimbang untuk menaikkan elektabilitas dari bawah ke atas. "Untuk mendongkrak tren turun ini, tim Jokowi butuh energi tiga kali lipat," kata Burhanuddin.

Ia mengatakan bahwa melemahnya elektabilitas Jokowi disebabkan karena beberapa hal. Menurut dia, Jokowi adalah calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diidentikkan sebagai pemimpin jujur dan dekat dengan rakyat, sedangkan Prabowo dari Partai Gerakan Indonesia Raya dianggap sebagai pemimpin yang tegas dan berwibawa.

Namun berdasarkan hasil survei Indikator politik Indonesia, katanya, jumlah masyarakat yang menginginkan pemimpin jujur semakin berkurang. Pada tahun 2013 menunjukkan 60 persen masyarakat yang memilih pemimpin jujur namun pada tahun 2014 menjadi 40 persen.

"Kejujuran mengalami penurunan sebagai kriteria yang sangat penting dari capres yang menyebabkan tren Jokowi turun. Saat ini, masyarakat cenderung memilih berdasarkan persepsi terhadap capres," katanya.

Selain itu, kampanye hitam efektif menurunkan elektabilitas Jokowi. Beberapa waktu lalu Jokowi diserang kampanye hitam menyangkut isu SARA seperti Jokowi keturunan Tionghoa dan Kristen serta anti-Islam.

"Kampanye hitam terkait isu Kristen dan Tionghoa ternyata efektif menurunkan elektabilitas Jokowi. Sedangkan elektabilitas Prabowo tidak terganggu dengan isu pelanggaran HAM," ujar Burhanuddin.

Ia menjelaskan Prabowo semakin didukung kelas menengah yang tidak terpengaruh dengan isu pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu.

"Survei saat ini menunjukkan Jokowi kalah di kalangan kelas menengah. Isu tentang HAM selama empat tahun hanya naik tiga persen, kampanye HAM berjalan ditempat karena banyak orang yang tidak tahu. Ini menunjukkan ada kegagalan untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat tentang HAM," tutur Burhanuddin.

Dalam survei top of mind, Jokowi masih unggul namun posisi Prabowo semakin mendekat. Elektabilitas Jokowi turun dari survei bulan Maret 2014, yang saat itu mendapatkan 32,5 persen, sementara Prabowo pada saat itu baru di angka 11,4 persen. Lalu elektabilitas Jokowi turun lagi sebesar 31,8 persen sedangkan Prabowo menyusul di bawahnya dengan 19,8 persen.

"Dukungan terhadap Prabowo kuat di wilayah kota dengan tingkat pendapatan pemilih di atas Rp1 juta sedangkan benteng pertahanan Jokowi di desa," kita Burhuddin.

Terlepas dari berbagai survei yang tingkat independensinya perlu diragukan itu, tampaknya kedua calon presiden itu perlu lebih bergiat dalam berkampanye, terutama mendekatkan diri kepada sang penentu, yakni massa mengambang. (HMB/KWR)

Oleh Hironimus Bifel
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014