Jakarta (ANTARA) - Dosen tetap pada program studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta Ella Syafputri Prihatini menilai bahwa keterwakilan perempuan di tingkat legislatif maupun eksekutif di Indonesia saat ini masih jauh dari kondisi ideal.
"Keterwakilan perempuan di politik di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal, karena baik itu di legislatif ataupun eksekutif kita masih jauh dari 30 persen (afirmasi kuota keterwakilan perempuan)," kata Ella Syafputri Prihatini di Jakarta, Selasa.
Padahal keterwakilan perempuan di politik sangat penting untuk bisa mempengaruhi kebijakan yang terkait dengan isu-isu perempuan dan anak.
Pihaknya mencatat keterwakilan perempuan di parlemen periode 2024 - 2029 baru mencapai 21 persen.
Baca juga: Tingkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, parpol harus dibenahi
Baca juga: Perolehan kursi perempuan di DPR RI disebut tertinggi dalam sejarah
Kemudian keterwakilan perempuan di kabinet pemerintahan baru mencapai 10 persen dalam satu dekade terakhir.
Menurut Ella Syafputri Prihatini, keterwakilan perempuan di parlemen itu tergantung pada tiga faktor, yakni kemauan perempuan itu sendiri untuk berkompetisi, keberpihakan partai politik untuk memberikan posisi nomor-nomor urut awal untuk caleg perempuan, serta keberpihakan masyarakat pemilih pada caleg perempuan.
"Jadi melibatkan perempuan itu sendiri, partai-nya, dan pemilihnya, itu yang harus dilakukan. Tiga tahap itu tiga-tiganya harus diperkuat supaya lebih banyak lagi perempuan bisa masuk parlemen," kata dia.
Ella juga menilai pentingnya kaderisasi caleg perempuan di parpol.
Pasalnya terdapat sejumlah parpol yang belum benar-benar serius dalam melakukan kaderisasi caleg perempuan.
"Banyak partai yang belum benar-benar serius melakukan kaderisasi orang-orang yang dipilih untuk jadi caleg, akhirnya terputus. Hanya mendadak saja (kader dadakan), yang penting asal ada kuota 30 persen," katanya.
Juga diperlukan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang 'galak' untuk mendiskualifikasi parpol yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan.
"Kalau pada 2019 itu bisa didiskualifikasi, partai tidak bisa bertanding di dapil di mana calon perempuannya kurang dari 30 persen. Jadi secara institusi, KPU kuat pada 2019, sekarang (Pileg 2024) justru melemah," kata Ella Syafputri Prihatini.*
Baca juga: Perludem: Pilkada Serentak harus bebas diskriminasi terhadap perempuan
Baca juga: Pakar: KPPRI jadi motor penggerak isu perempuan di RI
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024