Sleman (ANTARA) - Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta mengajak semua pemangku kepentingan untuk berperan aktif dalam upaya percepatan penurunan stunting yang secara konsisten dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif.

Kepala Perwakilan BKKBN DIY Muhammad Iqbal Apriansyah di Sleman, Selasa, mengajak semua pemangku kepentingan terkait untuk menjadikan forum Focus Group Discussion (FGD) tematik bertajuk “Sinergitas Pelaksanaan Anggaran dan Capaian Output untuk Penurunan Stunting di Wilayah DIY” ini sebagai sarana penggugah semangat dan kepedulian terhadap pencegahan stunting.

Salah satu manfaatnya agar semuanya dapat membaca pergerakan perangkat daerah dan satker dalam upaya menurunkan prevalensi stunting.

“Serta bagaimana kinerja belanja yang dialokasikan dalam sisa waktu dua bulan di tahun 2024 bisa efektif memberikan dampak kepada penurunan prevalensi stunting,” kata Iqbal.

Perlu diketahui, daerah di DIY yang masih memiliki rasio prevalensi stunting tinggi yakni Kabupaten Gunung Kidul sebesar 22,2 persen, Kulon Progo 21,2 persen, dan Bantul 20,5 persen.

Ia menyebut upaya percepatan penurunan stunting secara konsisten dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik antara lain melalui kampanye konsumsi garam beryodium, ASI eksklusif, pemberian ASI sampai usia dua tahun dengan makanan pendamping ASI yang adekuat, dan imunisasi.

"Sementara itu, intervensi gizi sensitif antara lain melalui air bersih, sanitasi, akses layanan kesehatan dan KB, JKN, Jampersal, pendidikan pola asuh dan gizi masyarakat serta edukasi kesehatan, seksual dan gizi kepada masyarakat," katanya.

Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda Kanwil DJPb DIY Tri Angga Sigit menyampaikan analisis tematik terhadap prevalensi stunting di DIY. Beberapa indikator terkait stunting di DIY antara lain ditunjukkan dengan jumlah balita dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di DIY pada 2022 berjumlah 2.323 jiwa atau 6,45 persen lebih tinggi dari rata-rata balita BBLR nasional yang sebesar 6 persen. Namun capaian ini sudah lebih baik dari hasil Riskesdas 2018 yang mencapai 7,6 persen.

Dia menjelaskan Kota Yogyakarta memiliki jumlah balita BBLR tertinggi sebesar 7,72 persen, sedangkan terendah di Kabupaten Bantul sebesar 5,64 persen. Kabupaten Gunungkidul perlu mendapatkan perhatian mengingat tingkat ibu hamil kurang energi kronis (KEK) tertinggi yaitu 16,30 persen, sedangkan terendah di Kabupaten Sleman sebesar 10,60 persen.

“Tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam penanganan prevalensi stunting secara umum antara lain terkait aspek anggaran dan penyalurannya, aspek data dan aplikasi, aspek edukasi, aspek geografis, aspek koordinasi internal, dan aspek kependudukan. Dari hasil uji regresi data panel, secara statistik belanja pemerintah dapat menurunkan tingkat prevalensi stunting di DIY, sejalan dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang juga berpengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat prevalensi stunting di DIY, di mana setiap kenaikan IPM sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat prevalensi stunting di DIY sebesar 2,60 persen,” katanya.

Selain untuk memperoleh informasi yang komprehensif, diskusi ini sangat bermanfaat bagi penetapan kebijakan yang lebih efisien dan efektif serta berkelanjutan. Poin penting yang perlu dicatat antara lain perlunya komitmen pada level pemerintahan yang lebih tinggi pada wilayah yang masih mengalami kenaikan tingkat prevalensi stunting untuk melakukan evaluasi dan asistensi terhadap program intervensi prevalensi stunting.

Dia mengatakan cerita sukses mengenai kebijakan daerah yang berhasil menekan prevalensi stunting juga perlu diduplikasi oleh wilayah lain. Sejalan dengan strategi-strategi tersebut, aktivasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) sampai ke level kalurahan termasuk dengan pembentukan Tim Pendamping Keluarga (TPK) sebagai ujung tombak penanganan stunting di level terkecil yaitu kalurahan dan keluarga perlu terus digiatkan.

"Mereka harus dioptimalkan dalam percepatan penurunan stunting," katanya.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJPb DIY Agung Yulianta menyampaikan tingkat prevalensi stunting di DIY periode 2018 sampai dengan 2023 menunjukkan tren fluktuatif dengan capaian 2023 sebesar 18 persen. Sedangkan target prevalensi stunting di DIY dalam RPJMN tahun 2020-2024 pada level 14 persen.

“Dukungan fiskal untuk menurunkan prevalensi stunting di DIY sampai dengan akhir September 2024 mencapai Rp43 miliar yang berasal dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan dana desa. Alokasi anggaran ini untuk menghasilkan output antara lain berupa 3.840 sambungan air minum untuk rumah tangga, 36 desa aman pangan, 250 hektare kawasan padi kaya gizi, pos kesehatan desa, makanan tambahan serta PAUD/TK/TPA/TPQ/Madrasah nonformal milik desa,” kata Agung.

Ia mengatakan beberapa tantangan yang diidentifikasi antara lain masih rendahnya alokasi dana stunting dibandingkan pagu total walaupun telah meningkat lebih dari 224 persen dibandingkan tahun 2023.

"Demikian juga program intervensi yang dijalankan di K/L dirasa masih belum menyasar intervensi sensitif yang berdampak langsung ke masyarakat terdampak stunting," katanya.

Baca juga: Pemkab Majalengka kerahkan petugas gizi guna cegah stunting
Baca juga: BKKBN tekankan pentingnya penanganan stunting tidak seremonial belaka

Pewarta: Sutarmi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024