Jakarta (ANTARA) - Minggu ini, Joko Widodo akan menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah 10 tahun menjabat. Beragam kebijakan besar telah ditunaikan demi kemajuan Tanah Air.

Politik luar negeri tak luput dari kebijakan Presiden Jokowi.  Relasi  dengan negara-negara di dunia mendatangkan kekuatan dan bekal baru yang membantu pemerintah melaksanakan pembangunan negara.

Apalagi pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa salah satu tujuan bernegara bangsa Indonesia adalah “ikut melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Konstitusi RI memberi dasar bagi pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam diplomasi di kancah dunia demi mewujudkan perdamaian dan keselarasan antarnegara-negara. Hal tersebut telah dijalankan oleh Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir ini.

Pencapaian besar diraih Indonesia dalam bidang politik luar negeri semasa pemerintahan Jokowi, di antaranya status keanggotaan tak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB pada 2019—2020, serta keberhasilan Indonesia menunaikan tugas Presidensi G20 pada 2022 dan Keketuaan ASEAN pada 2023.

Posisi-posisi kunci dalam organisasi internasional tersebut menjadi wahana bagi Presiden Jokowi menyalurkan kebijakannya untuk berkontribusi menyelesaikan persoalan dunia, khususnya meredakan konflik dan isu antarnegara yang penyelesaiannya berlarut-larut.

Di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia tak berhenti menguatkan perjuangannya untuk membela hak rakyat Palestina, sebuah amanah yang melintasi zaman dan generasi pemimpin bangsa ini.

Presiden Jokowi beberapa kali bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas, seperti di sela-sela KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada 2016, dalam kunjungannya ke Uni Emirat Arab pada 2022, dan kembali di sela-sela KTT Luar Biasa OKI Riyadh pada 2023.

Dalam setiap pertemuan dengan Abbas, Jokowi senantiasa menyampaikan salam dukungan dari rakyat Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina serta komitmen membantu bangsa Palestina terbebas dari penindasan Israel dan bencana kemanusiaan yang ditimbulkannya.

Indonesia tak lupa memanfaatkan posisinya sebagai anggota tak tetap DK PBB pada 2019—2020 untuk membela Palestina. Usai Indonesia terpilih menduduki posisi tersebut, Presiden Jokowi secara spesifik memandatkan supaya Indonesia meletakkan perhatian khusus kepada isu Palestina di masa baktinya di DK PBB.

Bersama negara-negara pembela Palestina lainnya di DK PBB saat itu, seperti Kuwait, Afrika Selatan, dan Tunisia, Indonesia terus mengingatkan Dewan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Palestina yang ditindas Israel.

Indonesia juga berperan sebagai co-penholdership – perumus dan pembentuk naskah rancangan resolusi atau dokumen DK PBB lainnya – terkait isu Palestina bersama Kuwait di DK PBB pada periode keanggotaannya, meski di tengah bayang-bayang veto anggota tetap DK PBB yang bersikukuh mendukung Israel.

Sementara itu, di tengah-tengah perang Rusia-Ukraina yang pecah pada 24 Februari 2022, Presiden Jokowi berupaya menawarkan diri sebagai pihak penengah kepada kedua negara melalui kunjungan kejutannya ke Ukraina dan Rusia pada Juni 2022.

Ia pun berhasil menemui kedua pemimpin negara berkonflik, yaitu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan, pada hari kedua kunjungan, Presiden Rusia Vladimir Putin.

Mengenai alasannya melakukan kunjungan tersebut, Jokowi menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan wujud kepedulian Indonesia untuk perdamaian Ukraina dan Rusia. Saat itu, ia mengingatkan supaya ruang dialog dalam rangka membangun perdamaian harus diwujudkan.

Misi Jokowi di Ukraina adalah mengajak Zelenskyy guna "membuka ruang dialog dalam rangka perdamaian, untuk membangun perdamaian, karena perang memang harus dihentikan dan juga berkaitan dengan rantai pasokan pangan" yang harus dipulihkan.

"Saya juga mengajak Presiden Putin membuka ruang dialog dan sesegera mungkin melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang," tandas Jokowi terkait kunjungannya tersebut.

Melalui kunjungan tersebut, Presiden Jokowi turut menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang yang terdampak perang Rusia-Ukraina, karena konflik tersebut mengganggu pasokan pangan dan bahan bakar yang vital untuk kebutuhan nasional. Apalagi, perang tersebut pecah ketika dunia sedang berupaya pulih dari pandemi COVID-19.

Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang berkunjung ke Ukraina dan Rusia setelah perang pecah antara kedua negara. Terlebih, kedatangannya tak bertujuan menaikkan popularitas di dalam negeri karena ia tengah berada dalam periode terakhir masa jabatannya.

Tak hanya di Eropa, Indonesia berupaya pula memainkan peran meredakan perang saudara di serumpun negara ASEAN, Myanmar, yang pecah menyusul kudeta Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw) pada Februari 2021 karena menolak hasil pemilu yang dimenangkan partai pimpinan Aung San Suu Kyi.

Dalam upaya meredakan konflik, ASEAN dan Myanmar menyepakati Konsensus Lima Poin yang menyerukan penghentian peperangan, dialog antara semua pihak, penunjukan utusan khusus dan mengizinkan kunjungannya ke Myanmar, serta pengiriman bantuan kemanusiaan oleh ASEAN. Indonesia mendukung inisiatif konsensus tersebut.

Sebagai pemegang Keketuaan ASEAN pada 2023, Indonesia menginisiasikan mekanisme troika di ASEAN dalam upaya penyelesaian konflik di Myanmar pada KTT ke-43 ASEAN. Anggota troika mencakup negara yang memegang keketuaan tahun berjalan, keketuaan tahun sebelumnya, dan keketuaan tahun mendatang.

Selama periode tersebut pula, Indonesia melakukan setidaknya 145 engagements dengan berbagai pihak di Myanmar. Capaian itu merupakan yang paling banyak dan paling intensif yang pernah dilakukan oleh ASEAN.

Inisiatif Indonesia tersebut menguatkan pondasi bagi Laos, pemegang keketuaan ASEAN setelah RI, dalam mendorong penyelesaian konflik Myanmar yang tetap menjadi misi bersama negara-negara ASEAN hingga saat ini.

Apabila ditarik benang merahnya, satu hal yang hendak didorong Presiden Jokowi melalui upayanya mendamaikan sejumlah konflik antarnegara adalah pentingnya pihak berkonflik duduk bersama untuk berunding dan mencari jalan tengah penyelesaian.

Presiden Jokowi berupaya menegaskan supaya konflik diakhiri dengan pendekatan yang diamini semua pihak dan bukan melalui solusi sepihak semata.

Terkait konflik Rusia-Ukraina, misalnya, Indonesia memutuskan abstain dan tak menandatangani Komunike Bersama dari konferensi tingkat tinggi (KTT) perdamaian Ukraina di Swiss pada pertengahan Juni 2024.

Kementerian Luar Negeri RI saat itu menyatakan bahwa Indonesia memandang komunike tersebut akan “lebih efektif apabila disusun secara inklusif dan berimbang”. Pasalnya, Rusia tidak disertakan dalam penyelenggaraan KTT tersebut.

Indonesia pun terus mendorong penyelesaian konflik Myanmar melalui mekanisme Troika ASEAN dan Konsensus Lima Poin, yang salah satu isinya menyerukan dilaksanakannya dialog yang melibatkan semua pihak berkonflik. Hal ini jadi semakin mendesak mengingat Myanmar masih belum menunjukkan komitmennya mengimplementasikan konsensus itu.

Melalui upaya diplomasi nasional yang dipimpin Presiden Jokowi, Indonesia terus menyuarakan penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan yang memenuhi harapan pihak-pihak terkait, namun dengan tak lupa untuk terus membela bangsa yang tertindas.

Dengan landasan politik luar negeri bebas dan aktif yang merangkul siapapun, Indonesia pun memiliki kredibilitas yang kuat sebagai negara yang mampu berperan sebagai penengah dalam konflik antara negara maupun regional.

Tak dapat dipungkiri, 10 tahun merupakan waktu yang lama untuk masa kepemimpinan seorang kepala negara. Masa sedasawarsa tersebut bahkan sudah bisa diakui sebagai sebuah era tersendiri.

Selama membaktikan diri bagi Indonesia, keputusan yang ditempuh Presiden Jokowi tak hanya berdampak signifikan bagi pembangunan Indonesia, namun juga bagi pemajuan kedamaian kawasan maupun dunia.


Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif vol. 86 Orkestrasi Jokowi. Selengkapnya bisa dibaca Di Sini

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024