Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan sosok sentral dalam perpolitikan Indonesia selama satu dekade terakhir. Sebagai presiden ke-7 Republik Indonesia, Jokowi telah memimpin negeri ini sejak 20 Oktober 2014.

Diakui bahwa Jokowi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama terkait pemilu dan demokrasi.

Kinerja penyelenggara pemilu, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, Pilkada Serentak 2020, dan Pemilu 2024 memainkan peran krusial dalam menjaga integritas dan kelancaran proses demokrasi di Indonesia.

Terkait pelaksanaan pemilu, Indonesia dihadang ujian besar saat pelaksanaan Pemilu Serentak pada 2019 dan Pilkada Serentak pada 2020.

Pemilu 2019 merupakan ujian besar bagi penyelenggara pemilu karena ini adalah kali pertama Indonesia mengadakan pemilu serentak, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam satu hari. Meski demikian, bangsa Indonesia berhasil melewati ujian demokrasi itu dengan baik, bahkan, tingkat partisipasi pemilih mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pemilu di Indonesia, yaitu 81,97 persen.

Sosialisasi yang gencar dilakukan oleh KPU serta berbagai inisiatif untuk menjangkau pemilih muda dan marginal turut berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi ini.

Pemilu serentak, bukannya tanpa hambatan. Kompleksitas pemilu ini membuat beban kerja sangat berat, terutama di tingkat tempat pemungutan suara (TPS).

KPU mencatat sekitar 894 petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia dan 5.175 orang sakit akibat kelelahan setelah bekerja selama berjam-jam di hari pemungutan suara. Ini mengundang kritik terkait manajemen waktu dan kesejahteraan petugas TPS, meskipun KPU telah menyatakan melakukan evaluasi dan memberikan santunan bagi keluarga korban.

Meskipun demikian, secara umum, penyelenggara pemilu berhasil menyelesaikan tugas itu dengan aman dan tepat waktu, meskipun ada sejumlah masalah teknis.

Pada pemilu tahun itu pula KPU memperkenalkan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) untuk meningkatkan transparansi penghitungan suara. Teknologi ini memungkinkan publik memantau perolehan suara secara real-time.
  Meski inovatif, Situng tidak terlepas dari kritik. Beberapa pihak meragukan akurasi dan keamanan sistem ini, yang menimbulkan isu terkait potensi manipulasi data. Meski begitu, Mahkamah Konstitusi mengukuhkan bahwa tidak ada bukti kuat kecurangan sistemik yang bisa mempengaruhi hasil pemilu.

KPU juga mulai memperkenalkan inovasi dalam bentuk rekapitulasi elektronik (e-Rekap) yang diharapkan dapat mengurangi potensi kesalahan manusia dalam proses penghitungan suara. Inisiatif ini belum sepenuhnya diimplementasikan secara luas, tetapi diharapkan menjadi langkah maju dalam modernisasi proses pemilu di masa depan.

Seperti halnya pada pemilu-pemilu sebelumnya, distribusi logistik masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan daerah dengan medan yang sulit, seperti Papua dan beberapa wilayah di Nusa Tenggara dan Kalimantan. Meskipun demikian, KPU boleh dibilang berhasil mendistribusikan logistik pemilu secara merata, terlepas dari adanya keterlambatan di beberapa daerah.

Sementara itu, dalam mengawasi jalannya pemilu, Bawaslu memainkan peran kunci dalam menangani pelanggaran dan memastikan pemilu berjalan sesuai aturan. Pada Pemilu 2019, Bawaslu menangani banyak laporan terkait politik uang dan kampanye hitam.

Tentu saja, Bawaslu juga tidak terlepas dari kritik. Misalnya, isu terkait dugaan penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, badan pengawas pemilu ini dinilai tidak mengambil tindakan tegas.

Tuduhan kecurangan pemilu muncul pada pemilu 2019, terutama dari pihak oposisi yang menuding adanya ketidakadilan dalam proses penghitungan suara. Kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi, tetapi setelah pengkajian yang mendalam, MK memutuskan tidak ada bukti substansial yang mendukung tuduhan tersebut, dan keputusan tetap mengesahkan hasil pemilu. Meski begitu, isu ini menimbulkan ketegangan politik dan mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitas KPU.
  DKPP menerima banyak pengaduan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh petugas KPU dan Bawaslu. DKPP berperan sebagai pengadil bagi penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik. DKPP menangani berbagai kasus, termasuk dugaan ketidaknetralan atau malapraktik yang dilakukan petugas KPU dan Bawaslu.

DKPP telah menjatuhkan sanksi disiplin terhadap sejumlah anggota KPU dan Bawaslu yang dinyatakan melanggar kode etik. Pada 2019, misalnya, DKPP memecat beberapa anggota KPU daerah karena terbukti melanggar aturan etika, yang menunjukkan peran penting lembaga ini dalam menjaga integritas penyelenggara pemilu.


Pilkada Serentak 2020

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 juga menjadi ujian berat bagi penyelenggara Pemilu. Ketika itu Indonesia, dan juga dunia, tengah dilanda pandemi COVID-19. Pilkada Serentak yang melibatkan 270 daerah, termasuk 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota itu menghadapi tantangan yang sangat unik karena dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19.

Awalnya, Pilkada 2020 dijadwalkan pada September, namun karena pandemi, akhirnya ditunda ke Desember 2020. Penundaan ini dilakukan untuk memberikan waktu bagi KPU, Bawaslu, dan pemerintah dalam mempersiapkan pelaksanaan pemilu yang aman dan sesuai dengan protokol kesehatan.

KPU menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat selama pemilu. Ini termasuk kewajiban memakai masker, menjaga jarak fisik, penyediaan tempat cuci tangan di TPS, dan penggunaan sarung tangan oleh petugas. Pemilih juga diminta membawa alat tulis sendiri untuk mengisi daftar kehadiran, dan pengukuran suhu tubuh dilakukan di pintu masuk TPS. Meskipun protokol sudah diterapkan, ada kekhawatiran bahwa pemilu ini dapat menjadi klaster penularan COVID-19. Namun, setelah evaluasi, tidak ditemukan peningkatan signifikan dalam kasus COVID-19 yang diakibatkan langsung oleh proses pemungutan suara.

Dalam kondisi pandemi, sosialisasi kepada masyarakat menjadi lebih sulit karena adanya pembatasan sosial. KPU harus mengadopsi pendekatan digital, menggunakan media sosial, iklan digital, dan penyuluhan daring untuk menggantikan sosialisasi tatap muka. Meskipun demikian, upaya ini tidak sepenuhnya menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama di daerah dengan akses internet terbatas.

Meski dilaksanakan di tengah pandemi, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 tetap cukup tinggi, mencapai 76,09 persen, hanya sedikit di bawah target KPU yaitu 77,5 persen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tetap bersemangat menggunakan hak pilihnya, meskipun ada risiko kesehatan.

Karena pandemi, KPU harus berinovasi untuk mengurangi kontak fisik selama proses pemilihan. Selain protokol kesehatan yang ketat, beberapa inovasi lain juga diimplementasikan, seperti peningkatan penggunaan teknologi untuk penghitungan suara dan penyebarluasan informasi melalui platform digital.

Kesehatan dan keselamatan petugas pemilu menjadi perhatian serius selama Pilkada 2020. KPU memastikan semua petugas TPS dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD), seperti masker, sarung tangan, dan face shield. Meski begitu, beberapa petugas masih saja terinfeksi COVID-19, meski angka infeksinya tidak setinggi yang dikhawatirkan.

Bawaslu tetap menjalankan fungsinya sebagai pengawas, terutama dalam memastikan protokol kesehatan dijalankan selama kampanye dan pemungutan suara. Namun, terdapat sejumlah pelanggaran protokol kesehatan, terutama saat kampanye, di mana beberapa kandidat melanggar ketentuan dengan mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak orang.

  Pemilu 2024

Pelaksanaan Pemilu 2024 berhasil diselenggarakan dengan baik oleh KPU, Bawaslu dan DKPP. Dalam rapat kerja (raker) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 25 Maret 2024, Komisi II DPR RI mengapresiasi kinerja penyelenggara pemilu yang telah melaksanakan tahapan pemilu sesuai jadwal, meskipun masih ada tantangan dalam hal penyelesaian sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK).

KPU berhasil melaksanakan tahap-tahap krusial, seperti penyusunan daftar pemilih, logistik, hingga pemungutan suara, sementara Bawaslu berperan dalam pengawasan dan memastikan pelaksanaan pemilu berjalan lancar. Namun, beberapa evaluasi terkait pelanggaran atau potensi sengketa masih perlu diperhatikan untuk pemilu yang lebih berkualitas di masa depan.

Selain itu, partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya yang menunjukkan kesadaran publik akan pentingnya pemilu juga semakin tinggi. KPU mencatat tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu 2024 di atas 81 persen, melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 79,5 persen.

Dampak dari tingginya partisipasi pemilih, yaitu menunjukkan keberhasilan pelaksanaan pemilu, meningkatkan legitimasi terhadap pemerintahan dan perwakilan rakyat, dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Ada beragam upaya yang dilakukan KPU untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Pertama, melakukan edukasi langsung ke sekolah, perguruan tinggi dan pondok pesantren. Kedua, mengajak organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Ketiga, menyebarluaskan informasi kepemiluan melalui berbagai kanal media daring. Keempat, melakukan sosialisasi kepada organisasi profesi, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Kelima, menggelar program menarik untuk pemilih, seperti lomba membuat video edukasi pemilih.

KPU menggunakan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap pada Pemilu 2024. Hal itu dilakukan demi transparansi penyelenggaraan pemilu terhadap publik, terutama dalam hal pengunggahan foto asli Formulir Model C1-Plano atau catatan hasil penghitungan suara Pemilu 2024.
  Sirekap pada Pemilu 2024 pun lebih mutakhir dibandingkan Pemilu 2019. Pasalnya, Sirekap dapat bekerja dalam dua kondisi, yakni ada jaringan internet dan tak ada jaringan internet atau blank spot.

Bawaslu juga mencatat ada 1.953 laporan yang diterima selama Pemilu 2024. Namun, ada 734 temuan dari beberapa jenis pelanggaran yang ada selama penyelenggaraan pemilu lalu. Bawaslu senantiasa mengajak semua pihak agar dapat semakin mengeratkan kerja sama.

Jokowi juga memutuskan untuk menaikkan tunjangan insentif anggota KPU di seluruh Indonesia sebesar 50 persen. Dia pun meminta maaf kepada seluruh jajaran anggota KPU karena tunjangan insentif anggota KPU tidak mengalami kenaikan sejak 2014.

KPU, Bawaslu, dan DKPP memiliki peran masing-masing yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu di era pemerintahan Jokowi. Secara umum, kinerja mereka menunjukkan adaptasi yang baik, terutama dalam menghadapi tantangan besar seperti Pemilu Serentak 2019 yang sangat kompleks dan Pilkada Serentak 2020 yang dilaksanakan di tengah pandemi dan Pemilu 2024 yang dilakukan di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pilkada meskipun tanggal pemungutan suaranya berbeda.

Meski ada beberapa kritik terkait penanganan pelanggaran dan efektivitas pengawasan, ketiga lembaga ini tetap menunjukkan komitmen tinggi dalam menjaga proses demokrasi yang transparan, jujur, dan adil di Indonesia.

Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 86 Orkestrasi Jokowi. Selengkapnya bisa dibaca di sini

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024