Menghormati HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu

Lantas, UU KKR mati suri selama lebih dari 1 dekade sebelum didengungkan kembali melalui Rancangan Undang-Undang KKR pada 2019. Sayangnya, hingga detik ini, UU KKR masih tak menampakkan denyut kehidupan.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro buka suara terkait nasib RUU KKR. Ia menyayangkan RUU KKR yang stagnan dalam 5 tahun terakhir.

Kendala utama yang dihadapi oleh RUU KKR adalah belum adanya urgensi dan dukungan politik bagi keberadaan UU KKR dan pembentukan KKR.

Padahal, RUU KKR dapat memberi landasan hukum dan kebijakan yang lebih substantif bagi upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Atnike juga meyakini UU KKR dapat memperkuat kelembagaan dan dukungan sumber daya bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban.

Keyakinan Atnike terbukti di Aceh. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya, Aceh memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. KKR Aceh dibentuk berdasarkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013. Qanun merupakan nama untuk Peraturan Daerah di Provinsi Aceh yang diterbitkan sejak 2002.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna mengatakan KKR Aceh mampu menghadirkan kebenaran dari versi korban.
KKR Aceh mengungkapkan kebenaran versi korban dengan mengambil pernyataan korban dan melaksanakan rapat dengar kesaksian. Pengungkapan kebenaran versi korban tersebut juga berdampak pada pemulihan psikologis.

“Itu besar sekali efeknya. Bayangkan, korban yang selama ini suaranya tidak didengarkan, tidak dicatat, tidak dianggap benar ceritanya, kini diangkat, dicatat, didengarkan,” kata Azharul.

Dampak psikologis inilah yang penting bagi perjalanan Aceh dan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pengungkapan kebenaran versi korban menjadi catatan penting untuk sejarah dan masa depan Indonesia.

Kini, KKR Aceh mendorong pelaksanaan rekomendasi reparasi untuk percepatan pemulihan korban pelanggaran HAM di Aceh melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh. Sebagaimana yang termaktub dalam qanun, rekomendasi reparasi merupakan salah satu mandat untuk KKR Aceh.

Ketua KKR Aceh Mastur Yahya mengungkapkan bahwa draf peraturan gubernur yang memuat pelaksanaan reparasi sudah sampai di Biro Hukum Kantor Gubernur Aceh untuk ditelaah. Draf tersebut nantinya akan meliputi bentuk-bentuk dari reparasi, yang terdiri dari kompensasi atau asoe bate damee, rehabilitasi, hak atas kepuasan, dan jaminan atas ketidakberulangan.

Sebagaimana yang termaktub di dalam draf tersebut, jaminan atas ketidakberulangan akan mencakup reformasi pendidikan serta reformasi hukum dan institusi.

KKR Aceh terlibat secara penuh dalam pembuatan draf peraturan gubernur tersebut. Namun sekali lagi, upaya ini hanyalah perwujudan dari langkah non-yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Jalur yudisial harus tetap ditempuh meski sulit.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak bisa dipisahkan dari mekanisme yudisial. Hal ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan bagi para korban, juga bagi mereka yang tak pernah letih berdiri di depan Istana Merdeka setiap Kamis.

Hingga tiba saatnya payung-payung hitam para pencari keadilan menguncup, Pemerintah tak boleh berhenti menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat ke meja hijau.


Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 86 Orkestrasi Jokowi. Selengkapnya bisa dibaca Di sini


Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024