Cilacap (ANTARA) - Kondisi udara yang bersih dan bebas dari polusi merupakan impian semua orang, tidak hanya di Indonesia, tapi terjadi di seluruh dunia. Salah satu penyumbang polusi udara terbesar berupa emisi bahan bakar fosil.
Berdasarkan studi terbaru yang dipublikasikan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Ke-28 (Conference of Parties/COP28) di Dubai pada Desember 2023 disebutkan bahwa polusi udara dari penggunaan bahan bakar fosil membunuh 5 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Kondisi tersebut menjadikan masyarakat di seluruh dunia makin sadar terhadap dampak negatif dari penggunaan energi fosil sehingga melakukan transisi menuju energi baru dan terbarukan merupakan keniscayaan. Demikian pula di Indonesia, Pemerintah telah membangun komitmen untuk bertransisi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil menuju era energi baru terbarukan (EBT).
Komitmen tersebut dipertegas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat KTT Iklim COP28. Dalam hal ini, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia telah mempercepat ambisi transisi energi tersebut dengan, antara lain, memanfaatkan energi surya, angin, air, panas bumi, dan arus laut selain mempercepat pengembangan biodiesel, bioetanol, dan bioavtur.
Gayung bersambut dengan komitmen Pemerintah tersebut, PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang energi berupaya memadukan langkah untuk mewujudkan energi bersih di Indonesia.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh perusahaan pelat merah itu guna mewujudkan mewujudkan target pemerintah untuk bauran EBT 23 persen pada tahun 2025, salah satunya melalui "Green Refenery Cilacap" yang merupakan proyek strategis nasional di area kilang PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU IV Cilacap.
Kilang "Green Refinery Cilacap" itu dapat memproduksi hydrotreated vegetable oil (HVO) atau bahan bakar dengan komponen nabati, juga memproduksi produk bionafta dan bioavtur (sustainable aviation fuel/SAF) yang berbahan baku minyak inti kelapa sawit yang telah dihaluskan (refined), diputihkan (bleached), dan dihilangkan baunya (deodorized) serta diolah bersamaan dengan avtur fosil melalui metode pemrosesan bersamaan (co-processing). Dalam hal ini, SAF merupakan bahan bakar alternatif untuk penerbangan komersial yang dapat mengurangi emisi karbon hingga 80 persen.
Terkait dengan produk bioavtur atau SAF di Kilang Pertamina Cilacap, Manager Engineering and Development (Engdev) PT KPI RU IV Cilacap Jefri A Simanjuntak mengatakan bahan bakar pesawat terbang itu terbuat dari refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPO) sekitar 2,4 persen yang diproses bersama kerosin atau avtur sebesar 97,6 persen.
Dengan kata lain, RBDPO merupakan minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau, sehingga ketika digunakan untuk SAF akan menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan karena tingkat emisinya rendah.
Hal itu disebabkan kandungan sulfur pada RBDPKO nol persen, sehingga tidak menghasilkan H2S dan sebagainya. Dengan demikian, emisi yang dihasilkan bioavtur dengan nama Jet Avtur 2,4 (J2,4) lebih rendah dari avtur fosil, bahkan bioavtur J2,4 ke depan akan ditingkatkan lagi sampai ke J3,0 dengan menggunakan katalis produksi dalam negeri.
Bioavtur J2,4 yang telah memenuhi standar internasional untuk spesifikasi Avtur ASTM D 1655, Defstan 91-91 latest issued, serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 59 K Tahun 2022 itu pun sudah diujicobakan penggunaannya pada pesawat komersial, yakni Garuda Indonesia B737-800NG PK-GFX dengan mesin pesawat CFM56-7B pada bulan Oktober 2023.
Kendati demikian, bioavtur tersebut untuk sementara masih diproduksi sesuai dengan permintaan karena secara paralel Pertamina masih mencari pasar agar produksinya ke depan dapat terus berkelanjutan antara pasokan dan permintaan.
Selain itu, infrastruktur kilangnya juga harus siap termasuk dari sisi teknologinya, sehingga mampu memproduksi sekitar 6.000 barel per hari.
"Market-nya sedang disiapkan oleh teman-teman komersial dan trading. Tapi, untuk pembuatan secara massal, kita Kilang Cilacap sudah siap untuk memproduksi," tegas Jefri.
Bahkan pada Januari 2025, akan kembali dilakukan perbaikan teknologi agar menghasilkan produk bioavtur dengan kualitas yang lebih tinggi.
Saat ini, bioavtur J2,4 hanya diproduksi di Kilang Cilacap namun Pertamina terus berbenah agar kilang lainnya dapat menghasilkan produk itu karena pemerintah mendorong Pertamina untuk menyiapkan bahan bakar yang ramah lingkungan. Seperti halnya di Kilang Balongan yang saat ini memproduksi biosolar B30 (bahan bakar yang merupakan campuran 30 persen biodiesel dan 70 persen solar), secara bertahap akan ditingkatkan ke B50 hingga B100.
Selain memproduksi bioavtur yang menggunakan minyak kelapa sawit, Kilang Cilacap saat sekarang juga mengembangkan bioavtur dari minyak jelantah. Proses produksi bioavtur dari minyak jelantah ini hampir sama dengan bioavtur yang terbuat dari RBDPKO.
Kendati Kilang Cilacap sudah siap untuk memproduksi bioavtur dari minyak jelantah, saat ini Pertamina masih berbenah untuk menyiapkan rantai pasokan minyak jelantah tersebut karena minyak goreng bekas pakai itu terlebih dahulu harus dikumpulkan dari rumah-rumah warga maupun restoran-restoran agar bisa memenuhi kapasitas produksi.
Jika bioavtur dari minyak jelantah itu bisa diproduksi secara massal, banyak keuntungan yang bisa diperoleh karena selain menghasilkan energi bersih, pemanfaatan minyak jelantah tersebut dapat mengatasi persoalan limbah rumah tangga maupun restoran.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produk bioavtur tidak perlu melakukan deforestasi atau pembukaan hutan untuk penanaman kelapa sawit karena selain menggunakan minyak sawit murni, proses produksi bahan bakar pesawat yang ramah lingkungan itu bisa memanfaatkan minyak jelantah yang notabene berasal dari minyak sawit.
Selain Bioavtur J2,4, Kilang Pertamina Cilacap juga memproduksi bahan bakar kapal rendah sulfur atau marine fuel oil low sulphur (MFOLS) yang memenuhi regulasi Marine Polution serta peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI.
Produk MFO Low Sulphur yang menggantikan MFO High Sulfur ini menjadi bagian dari peran aktif Indonesia sebagai anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) dalam hal perlindungan lingkungan maritim.
Berbagai produk bahan bakar ramah lingkungan yang dihasilkan Pertamina itu merupakan upaya memadukan langkah untuk mewujudkan energi bersih di Indonesia. Betapa menyehatkan ketika semua alat transportasi maupun mesin-mesin pabrik di negeri ini menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024