Dari 263 ribu hektare kebun sawit rakyat di Aceh, yang baru tersertifikasi ISPO sekitar 2.000 hektare, selebihnya belum tersertifikasi.
Banda Aceh (ANTARA) - Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh mengajak petani perkebunan kelapa sawit rakyat di daerahnya untuk mempercepat proses sertifikasi standar mutu pengelolaan industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO), guna mewujudkan kemajuan ekonomi dalam industri sawit.

Sekretaris Distanbun Aceh Azanuddin Kurnia, di Banda Aceh, Jumat, mengatakan di wilayah Aceh terdapat sekitar 263 ribu hektare perkebunan sawit rakyat dan sekitar 220 ribu hektare perkebunan sawit milik perusahaan melalui hak guna usaha (HGU).

“Dari 263 ribu hektare kebun sawit rakyat di Aceh, yang baru tersertifikasi ISPO sekitar 2.000 hektare, selebihnya belum tersertifikasi,” kata Azanuddin.

Ia menjelaskan ISPO sudah ada sejak lama, sebagai salah satu bukti yang menunjukkan kepada dunia bahwa industri perkebunan sawit di Indonesia tertib lingkungan, administrasi, hingga tertib ketenagakerjaan.

Menurut dia lagi, saat ini kewajiban tersertifikasi ISPO bagi perkebunan rakyat dan perusahaan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi ISPO, sejalan dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO.

“ISPO adalah mandat, ini perlu dukungan kita bersama. Berdasarkan Permentan dan Perpres 44 Tahun 2020 bahwa perkebunan sawit itu harus tersertifikasi ISPO paling telat 2025,” ujarnya lagi.

Menurut dia, dalam kebijakan tersebut, apabila perkebunan sawit tidak tersertifikasi ISPO, maka tandan buah segar (TBS) dan crude palm oil/CPO dari perkebunan tersebut tidak akan laku terjual di pasar global, karena dianggap kurang berkualitas.

Di Aceh, kata Azan, dari 263 ribu hektare lahan sawit rakyat tersebut dimiliki oleh sekitar 146 ribu kepala keluarga, sehingga ada ratusan ribu jiwa yang bergantung hidupnya secara langsung pada hasil komoditas sawit.

“Maka kalau 2025 benar-benar (kebijakan, Red) ini diterapkan, (perkebunan) yang tidak ada sertifikasi ISPO maka terancam tidak akan laku TBS-nya,” ujarnya.

Hal tersebut, kata dia lagi, sudah terlihat saat ini di salah satu pabrik kelapa sawit (PKS) di Aceh Tamiang yang tidak mau membeli buah kepala sawit dura, yang memang selama ini dianggap sebagai varietas yang kurang baik dari bibit asalan.

“Kenapa tidak dibeli karena rendemen sangat rendah,” ujarnya.

Azan menyebut pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan untuk sertifikasi ISPO. Hanya saja, mereka tetap memiliki program yang disebut rintisan ISPO untuk membantu petani dari segi regulasi dalam pengurusan ISPO yang mengeluarkan banyak biaya.

“Jadi kalau diharapkan hanya kepada petani membuat itu (ISPO, Red), maka ini diyakini masih belum mampu. Jangankan untuk ISPO, untuk beli pupuk saja tidak sanggup mereka (petani, Red). Jadi untuk mempermudah ini, bagaimana mempermudah regulasi tersebut di level regulasi di Jakarta,” ujarnya pula.
Baca juga: Petani sawit di Aceh Singkil menikmati hasil kemitraan
Baca juga: Harga TBS kelapa sawit di Aceh Barat Daya turun jadi Rp2.020 per kg

Pewarta: Khalis Surry
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024