Jakarta (ANTARA) - Innovative Credit Scoring (ICS) muncul sebagai solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan sistem penilaian kredit konvensional di era digital.

Metode ini memanfaatkan teknologi canggih dan data alternatif untuk memberikan penilaian yang lebih komprehensif terhadap kelayakan kredit seseorang, terutama bagi mereka yang selama ini kesulitan mengakses layanan keuangan formal.

Berbeda dengan metode penilaian kredit tradisional yang sangat bergantung pada riwayat kredit dan data keuangan formal, ICS menggunakan berbagai sumber data non-tradisional seperti data transaksi digital, riwayat pembayaran utilitas, data media sosial, riwayat pekerjaan, data perilaku online, dan informasi geolokasi.

Teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) kemudian digunakan untuk menganalisis data-data tersebut secara cepat dan akurat.

Kehadiran ICS membuka peluang akses kredit bagi segmen masyarakat yang selama ini kurang terlayani oleh sistem perbankan tradisional, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, pekerja informal, dan usaha mikro kecil.

Dengan memanfaatkan data yang lebih beragam dan komprehensif, ICS dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang profil risiko peminjam potensial, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki riwayat kredit formal.

Salah satu keunggulan utama ICS adalah kemampuannya dalam meningkatkan inklusi keuangan. Metode ini memungkinkan lembaga keuangan untuk menjangkau dan melayani segmen pasar yang lebih luas, termasuk mereka yang sebelumnya dianggap "tidak bankable".

Hal ini sangat bermanfaat terutama di negara-negara berkembang dengan tingkat penetrasi perbankan yang masih rendah.

Selain itu, ICS juga menawarkan proses penilaian kredit yang lebih cepat dan efisien. Penggunaan teknologi AI dan machine learning memungkinkan analisis data dalam jumlah besar dilakukan dalam hitungan detik, sehingga keputusan kredit dapat diambil dengan lebih cepat. Hal ini tidak hanya menguntungkan calon peminjam, tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional lembaga keuangan.

Namun, penerapan ICS juga menghadapi beberapa tantangan dan risiko yang perlu diwaspadai. Salah satu kekhawatiran utama adalah terkait privasi dan keamanan data.

Penggunaan data alternatif dalam jumlah besar menimbulkan pertanyaan seputar perlindungan data pribadi dan potensi penyalahgunaan informasi. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat dan praktik terbaik dalam pengelolaan data untuk melindungi kepentingan konsumen.

Tantangan lain adalah potensi bias dan diskriminasi dalam algoritma yang digunakan. Jika data yang digunakan tidak representatif atau algoritma tidak dirancang dengan baik, hasil penilaian kredit bisa jadi tidak adil bagi kelompok tertentu. Hal ini menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengembangan dan penerapan model ICS.

Di Indonesia, penerapan ICS mulai berkembang terutama di sektor fintech lending. Beberapa perusahaan seperti Kredivo, UangTeman, dan Amartha telah memanfaatkan metode ini untuk memberikan pinjaman kepada segmen yang kurang terlayani oleh perbankan tradisional.

Namun, penerapan ICS di Indonesia masih terbatas dan belum terintegrasi sepenuhnya dengan sistem perbankan mainstream.

Penggunaan data nontradisional untuk menghasilkan skor kredit di tanah air memang diakui dapat memfasilitasi inklusi keuangan, khususnya bagi golongan masyarakat yang belum tersentuh layanan keuangan atau perbankan (unbanked).

Kendati demikian, model bisnis ini juga membawa sederet risiko terkait privasi data, kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan pembelajaran mesin (machine learning), serta monopoli pasar.


Regulasi Khusus

Tantangan utama penerapan ICS di Indonesia meliputi ketersediaan dan kualitas data, serta kerangka regulasi yang belum sepenuhnya mengakomodasi penggunaan data alternatif dalam penilaian kredit.

Saat ini, belum ada regulasi khusus yang secara spesifik mengatur penerapan ICS di Indonesia. Namun, beberapa regulasi terkait seperti POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dapat menjadi acuan dalam penerapan ICS.

Memang untuk mengatasi risiko-risiko yang melekat pada ICS, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menggunakan pendekatan pengaturan bersama (koregulasi) dengan membentuk regulatory sandbox.

OJK juga berkolaborasi dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) sebagai payung organisasi ICS. Fungsi regulasi mandiri dari AFTECH tidak lain untuk melengkapi upaya pengawasan atas entitas-entitas fintech (teknologi finansial) melalui penegakan kode etik terhadap para penyelenggara ICS.

Seiring dengan itu, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga hadir untuk memberikan kejelasan hukum terkait pengelolaan data pribadi oleh perusahaan ICS.

Ke depan, pengembangan ICS di Indonesia membutuhkan kolaborasi yang erat antara regulator, lembaga keuangan, perusahaan teknologi, dan masyarakat.

Diperlukan kerangka hukum yang komprehensif untuk mengatur aspek-aspek penting dalam penerapan ICS, termasuk perlindungan data, pencegahan diskriminasi, dan mekanisme pengawasan.

Selain itu, peningkatan literasi digital dan keuangan masyarakat juga menjadi kunci agar konsumen dapat memahami implikasi dari penggunaan data mereka dalam penilaian kredit.

Dengan pendekatan yang seimbang antara inovasi dan mitigasi risiko, ICS berpotensi menjadi katalis penting dalam mentransformasi lanskap keuangan di Indonesia.

Metode ini dapat mendorong inklusi keuangan yang lebih luas, meningkatkan efisiensi sektor keuangan, dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Namun, tantangan terbesar terletak pada bagaimana memastikan bahwa inovasi ini benar-benar dapat menjangkau dan memberdayakan kelompok yang selama ini terpinggirkan dari sistem keuangan formal, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan konsumen.


*) Penulis adalah Warek III Ikopin University, Ketua Umum IMFEA dan ADEKMI.

Copyright © ANTARA 2024