Gaza (ANTARA) - Ketidakpastian masih terus menyelimuti masa depan Jalur Gaza seiring konflik Israel-Hamas memasuki tahun keduanya, sebuah tonggak sejarah yang suram. Kalangan pakar Palestina mengaku pesimistis akan adanya resolusi cepat di tengah dinamika regional yang rumit dan sikap keras kepala dari para pihak terkait yang mempersulit upaya perdamaian.

Konflik saat ini, yang meletus sejak Oktober 2023 ketika kelompok militan Hamas yang menguasai Gaza melancarkan serangan mendadak ke Israel, menjadi putaran konflik terpanjang dalam sejarah Israel sejak negara itu berdiri pada 1948.

Seiring perkembangan konflik, Israel terus memperluas operasinya di luar perbatasan Gaza, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik regional yang lebih luas.

Menurut Dawood Talhami, seorang pakar Palestina yang berbasis di Ramallah, ekspansi ini menunjukkan bahwa "tujuan Israel lebih dari sekadar mencegah serangan Hamas di masa depan."

Ayman Yousuf, seorang pakar Palestina di Ramallah, berpendapat bahwa perluasan konflik dengan melibatkan Hizbullah bisa jadi merupakan taktik untuk mempersulit negosiasi gencatan senjata dengan Hamas.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk melanjutkan perang hingga mencapai apa yang disebutnya sebagai kemenangan mutlak atas Hamas. Sikap ini kukuh dipertahankan meski ada seruan gencar dari masyarakat internasional untuk gencatan senjata dan tekanan yang kian meningkat dari dalam negeri Israel, di mana sejumlah warga Israel mengkritik cara pemerintah mereka menangani konflik.

Hussam al-Dajani, seorang analis yang berbasis di Gaza, menilai bahwa Netanyahu sedang menggunakan perannya sebagai pemimpin masa perang untuk mengamankan posisi politiknya dan meyakinkan mereka yang tidak lagi percaya pada kemampuan pemerintahnya dalam menjamin keamanan.

Kritik meluas terhadap pemerintahan Netanyahu mengemuka setelah serangan Hamas pertama, yang oleh banyak rakyat Israel dipandang sebagai kegagalan besar pada sistem keamanan dan intelijen negara itu.

Kalangan analis Palestina, seperti Talhami, juga mengungkapkan bahwa dukungan Amerika Serikat (AS) untuk Israel dalam konflik ini memperumit upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan karena dukungan AS justru makin memperkuat aksi-aksi militer Israel.

Siklus pemilihan presiden AS yang sedang berlangsung juga menambahkan kompleksitas lain ke dalam situasi ini. Menurut Al-Dajani, Netanyahu mungkin sedang mempertimbangkan kemungkinan hasil pemilu AS dalam kalkulasi strategisnya, yang berpotensi membuatnya harus menyesuaikan pendekatannya berdasarkan apakah Partai Republik atau Partai Demokrat yang akan memenangkan kursi kepresidenan.

Ke depannya, jalan menuju solusi politik masih belum jelas. Ghassan al-Khatib, seorang analis politik di Ramallah, mengatakan bahwa Gaza mungkin masih akan berada di bawah kontrol militer Israel untuk waktu yang lebih lama, yang berpotensi berlangsung selama beberapa tahun. Namun, dia memperingatkan bahwa situasi seperti itu kemungkinan akan memicu perlawanan lebih lanjut dari warga Palestina di Gaza.

Talal Okal, seorang analis yang berbasis di Gaza, memperingatkan bahwa perang yang berkepanjangan dapat meningkatkan perlawanan warga Palestina.

"Ini berarti kita mungkin masih akan melihat konflik di Gaza berlangsung selama bertahun-tahun ke depan, bukan hanya beberapa bulan," ujar Okal.
 
atahari terbit dan bersinar di kota Khan Younis di Jalur Gaza selatan pada 7 Oktober 2024.  ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad
 
Seorang pria berdiri di atas puing-puing bangunan yang hancur di kota Jabalia di Jalur Gaza utara, 6 Oktober 2024. ANTARA/Xinhua/Mahmoud Zaki
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024