Pontianak (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI, Dr. (HC) Cornelis, menegaskan pentingnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera turun tangan dalam menyelesaikan persoalan tanah yang melibatkan perusahaan kelapa sawit dan masyarakat.

"Hal ini saya sampaikan terkait laporan warga tiga desa di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, yang mengaku hak-hak mereka dirampas oleh perusahaan, seperti Mukti Group, yang diduga menyerobot tanah dan merusak lingkungan," kata Cornelis di Pontianak, Kamis.

Cornelis menekankan bahwa penyelesaian masalah pertanahan sangat penting untuk menghindari konflik antara masyarakat dan perusahaan. Menurutnya, banyak Hak Guna Usaha (HGU) yang mencakup perkampungan dan tanah milik warga yang belum jelas statusnya.

"Proses penyelesaian masalah pertanahan harus segera dilakukan agar hak-hak masyarakat dihormati dan tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga yang berjuang mempertahankan tanah mereka,” tuturnya.

Permasalahan ini menjadi semakin mendesak, terutama dengan adanya dugaan penggelapan pajak dan penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan sawit.

Untuk itu, Cornelis mengajak Kementerian ATR/BPN untuk bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam menangani permasalahan masyarakat yang masih tinggal di area hutan produksi.

“Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan konflik ini dan memastikan hak-hak masyarakat terlindungi. Kita tidak ingin masyarakat berhadapan dengan perusahaan yang merampas tanah mereka,” katanya.

Dukungan terhadap tuntutan warga ini mencerminkan perhatian yang semakin besar dari pemerintah dan lembaga legislatif terhadap isu-isu pertanahan yang melibatkan hak-hak masyarakat. Dengan tindakan yang tepat, diharapkan konflik ini dapat diselesaikan secara damai dan menguntungkan bagi semua pihak.

Warga tiga desa di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mengaku senang dengan komitmen Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang akan bertindak tegas terhadap perusahaan kelapa sawit nakal yang merambah hutan negara, bahkan menyerobot tanah rakyat serta menggelapkan pajak.

Hal itu dikatakan oleh M. Sandi, Ketua Koperasi Pangkat Longka Ketapang Sejahtera, yang mengatakan bahwa perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Sandai, yakni Mukti Group diduga telah menyerobot tanah rakyat seluas 70 hektar, juga merambah hutan HPK, sekaligus melakukan penggelapan pajak.

Rakyat dan negara telah dirugikan, disamping kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh praktik kotor perusahaan sawit tersebut. Oleh karenanya, warga tiga desa di sekitar areal perkebunan sawit itu meminta agar izin operasional Mukti Group dicabut.

Menanggapi praktik penyimpangan perusahaan sawit, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Bellicia Angelica mengatakan, potensi penerimaan negara rata-rata hilang sebesar Rp22,83 triliun per tahun akibat dugaan penghindaran pajak oleh korporasi kelapa sawit.

Bellicia menguraikan, setidaknya ada tiga permasalahan industri kelapa sawit yang masih terjadi hingga kini yakni, persoalan korupsi, penghindaran pembayaran pajak serta manipulasi data perdagangan.

"Perlu adanya transparansi tata kelola persawitan, penguatan sawit rakyat, perlindungan hutan alam yang tersisa, merangsang hadirnya kebijakan persawitan yang kredibel, memantau implementasi kebijakan serta komitmen korporasi hingga perlunya merangsang investasi dan pasar sawit yang sehat, kalau mau perkebunan sawit memberi dampak signifikan, baik bagi pendapatan daerah dan nasional maupun masyarakat sekitar," katanya.

Dikatakannya, persoalan korupsi di industri sawit lantaran belum memiliki desain tata kelola yang terintegrasi antara kementerian/lembaga terkait dengan pemerintah provinsi dan daerah setempat, sehingga mudah untuk terjadi indikasi praktik korupsi.

"Demikian juga adanya regulatory state capture atau pemberian izin kepada korporasi melalui intervensi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mempermudah perizinan juga masih menjadi permasalahan di industri kelapa sawit. Juga adanya patron politik dan PEPs atau orang yang terpapar secara politik yang menduduki jabatan komisaris maupun direksi di korporasi sawit. Orang tersebut dapat memanfaatkan jabatannya untuk melakukan praktik keluar-masuk pintu sehingga memunculkan praktik-praktik korupsi di industri kelapa sawit," urainya.

Sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah bertekad akan mengejar para pembangkang pajak yang telah membuat kerugian besar bagi negara. Kabarnya, ada sekitar 300 pengusaha yang belum memenuhi kewajiban pajak, dengan total tunggakan mencapai Rp 300 triliun.

"Saya sudah mengantongi daftar pengusaha-pengusaha yang belum membayar pajak dan sebagian besar berasal dari sektor perkebunan sawit," kata Prabowo.

Baca juga: Gubernur Bengkulu: Program reforma agraria efektif atasi konflik lahan

Baca juga: Menteri ATR: Negara perhatikan petani gurem lewat reforma agraria

Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024