...setelah pagelaran pilpres, rakyat wajib mengawal kebijakan presiden terpilih sehingga benar-benar dapat diaplikasikan untuk kesejahteraan rakyat
Jakarta (ANTARA News) - Capres Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memiliki konsep dan visi yang berbeda dan masih harus menjelaskan substansi serta komitmen terhadap isu yang menjadi perhatian seperti hak azasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.
Hal tersebut merupakan kesimpulan dalam diskusi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) dan jaringan Indonesia Synergy yang berlangsung 11 Juni di Australian National University, Canberra.
Moderator diskusi, Awidya Santikajaya (mahasiswa PhD, ANU) kepada Antara lewat surat elektronik, Jumat, mengemukakan Diskusi yang dihadiri sekitar 30 mahasiswa, akademisi dan masyarakat itu menampilkan pembicara : Usman Hamid (mahasiswa MPhil, ANU), Liam Gammon (mahasiswa PhD, ANU) dan Erick Hansnata (mahasiswa PhD, University of Canberra).
Awidya mengemukakan diskusi juga menyimpulkan bahwa dua pasangan Capres akan memiliki tantangan masing-masing jika memenangi pilpres.
"Prabowo-Hatta akan terus dibayangi tuntutan mengenai isu-isu HAM, sementara Jokowi-JK dituntut untuk mengejawantahkan popularitas mereka ke hal-hal yang nyata dan bermanfaat bagi rakyat," kata Awidya.
Dalam rangkuman diskusi yang disusun Awidya, Usman Hamid dalam diskusi tersebut mengatakan Jokowi memiliki track record yang bersih dalam isu HAM dibandingkan Prabowo.
Usman mengatakan Prabowo dan lingkar dalamnya telah berkali-kali membantah keterlibatan mereka dalam penculikan aktivis pada tahun 1998 namun berbagai fakta, termasuk temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan keterlibatan Prabowo.
Mengenai Jokowi-JK, Usman mengatakan keduanya harus menunjukkan komitmen secara detail untuk menegakkan HAM.
"Hal ini dikarenakan, orang-orang di sekitar Jokowi–JK pun beberapa di antaranya adalah mantan jenderal yang ditengarai memiliki masa lalu pelanggaran HAM dan kekerasan," kata Usman.
Pembicara lainnya, Erick Hansnata, mengungkapkan visi Jokowi-JK lebih realistis.
Hal itu menurut dia terutama terlihat dalam rencana kebijakan kedua kandidat dalam isu subsidi BBM.
Dia mencatat,Prabowo-Hatta mengusulkan pengurangan subsidi BBM untuk orang kaya melalui mekanisme pajak dan subsidi, sementara Jokowi-JK mengusulkan pengurangan subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan disertai kebijakan konversi ke BBG.
Menurut Erick, program Prabowo-Hatta pada akhirnya akan terbentur ketidakintegrasian data kependudukan dan sistem pajak, sehingga sulit untuk diterapkan secara konsisten.
Di sisi lain, visi Jokowi-JK untuk menaikkan harga BBM tidak popular tetapi akan berdampak positif dengan adanya fleksibilitas fiskal untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
"Jokowi-JK harus bersiap memberikan penjelasan logis dan rasional kepada masyarakat jika harga BBM dinaikkan, termasuk implikasi logis terhadap fluktuasi inflasi," kata Erick dalam diskusi tersebut.
Sementara itu Liam Gammon berpendapat bahwa tampilnya Jokowi sebagai kandidat presiden mematahkan tradisi oligarkhi dalam politik Indonesia.
Prabowo, menurut Liam Gammon, membuat koalisi yang cenderung menguatkan tradisi pentingnya kekuatan modal dalam politik, terlebih dengan bergabungnya Golkar.
Di akhir diskusi, PPIA mengimbau masyarakat harus tetap kritis menyikapi kedua kandidat dan tidak terpaku pada hal-hal retorik selama kampanye.
"Lebih dari itu, setelah pagelaran pilpres, rakyat wajib mengawal kebijakan presiden terpilih sehingga benar-benar dapat diaplikasikan untuk kesejahteraan rakyat," ungkap kesimpulan diskusi PPIA tersebut.
Pewarta: Aditia Maruli Radja
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014